Menghidupkan Kembali Pramuka untuk Pembangunan Manusia Berkelanjutan Indonesia

Jakarta (ANTARA) – Pramuka merupakan bagian penting dan vital dari masyarakat Indonesia, dengan anak-anak aktif berpartisipasi sejak tahun-tahun awal sekolah mereka.

Tahun ini, pada 14 Agustus 2025, Pramuka akan merayakan ulang tahun ke-64. Gerakan Pramuka menyimpan banyak kenangan dan telah menghadapi berbagai tantangan.

Perkembangan teknologi informasi dan menyusutnya ruang terbuka hijau di perkotaan juga memengaruhi perkembangan gerakan Pramuka saat ini.

Globalisasi dan liberalisasi, diiringi masuknya budaya asing, semakin melemahkan pondasi moral bangsa, menjauhkannya dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh gerakan Pramuka.

Berbagai kejahatan yang dilakukan anak di bawah umur di Indonesia, seperti pencurian, penyalahgunaan narkoba, penganiayaan, perundungan, hingga kejahatan serius seperti penganiayaan berujung kematian, semakin sering terjadi dan memerlukan perhatian serius.

Tren ini mencerminkan terkikisnya solidaritas sosial dan toleransi terhadap keberagaman etnis, agama, dan budaya di Indonesia.

Kekhawatiran ini sejalan dengan pandangan Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1977), di mana ia mengidentifikasi enam sifat utama: hipokrisi, enggan dan tidak mau bertanggung jawab atas tindakan, feodalisme, takhayul, bakat seni, dan karakter yang lemah.

Karakter nasional adalah aset vital bagi kemajuan suatu bangsa. Keberhasilan pembangunan nasional benar-benar bergantung pada keseimbangan antara pembangunan fisik dan non-fisik.

Pembangunan fisik mengacu pada kemajuan infrastruktur dan penyediaan barang modal. Sementara itu, pembangunan non-fisik mengacu pada pembentukan karakter warga melalui perspektif pendidikan formal dan informal.

Setelah era Presiden Sukarno, Indonesia terlihat lebih mengutamakan pembangunan fisik daripada pembangunan karakter bangsa. Akibatnya, pembangunan fisik sendiri tidak berkembang optimal, sebagian karena pembangunan karakter diabaikan.

Alhasil, sikap egois, korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela di semua lapisan masyarakat, sehingga berkontribusi pada peningkatan korupsi—dengan istilah "Liga Korupsi" yang belakangan viral merujuk pada gelombang kasus korupsi di berbagai instansi dan BUMN, ibarat kompetisi yang melibatkan kerugian negara hingga ribuan triliun rupiah.

MEMBACA  Peningkatan Layanan Kesehatan: Pemerintah Bangun 24 Rumah Sakit Baru di Papua

Di sinilah peran krusial Pramuka dalam membentuk karakter bangsa Indonesia. Sebenarnya, akar Pramuka sudah ada jauh sebelum pendirian resminya.

Pada 1912, sekelompok pramuka dilatih di Batavia (Jakarta), yang kemudian berkembang menjadi cabang Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO).

Pada 1914, cabang ini secara resmi menjadi organisasi terpisah bernama Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV), atau Perkumpulan Pramuka Hindia Belanda. Saat itu, sebagian besar anggota NIPV adalah keturunan Belanda.

Pada 1916, Mangkunegara VII mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie, organisasi kepramukaan pertama yang didukung pribumi. Ini kemudian diikuti organisasi lain berbasis agama, etnis, dan kelompok sosial.

Beberapa organisasi tersebut antara lain Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan), Nationale Padvinderij, Syarikat Islam Afdeling Pandu, Pramuka Nasional Indonesia, Padvinders Organisatie Pasundan, Pandu Sultanan, El-Hilaal, Pandu Ansor, Al Wathoni, Tri Darma (Kristen), Pramuka Katolik Indonesia, dan Pramuka Kristen Indonesia.

Pertumbuhan kepramukaan di Hindia Belanda juga menarik perhatian Bapak Pramuka Dunia, Lord Baden-Powell, yang mengunjungi organisasi pramuka di Batavia, Semarang, dan Surabaya bersama istrinya awal Desember 1934.

Setelah kemerdekaan, untuk menyatukan gerakan Pramuka, Presiden Sukarno bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX memulai upaya menyatukan berbagai organisasi kepramukaan.

Presiden Sukarno mempertemukan para pemimpin pramuka se-Indonesia, menggabungkan mereka dalam satu wadah bernama Pramuka atau Praja Muda Karana, yang berarti "Jiwa Muda yang Suka Berkarya."

Pada 14 Agustus