Mengenang tsunami Aceh: Melestarikan mangrove untuk mencegah tragedi

Pada hari Minggu, 26 Desember, dua puluh tahun yang lalu, Indonesia dan 13 negara yang berbatasan dengan Samudra Hindia menyaksikan tsunami, yang terbukti sebagai salah satu bencana alam paling menghancurkan dan mematikan dalam sejarah modern. Hal ini juga mendorong transformasi mitigasi bencana Indonesia.

Pada hari itu, gempa bumi yang sangat merusak dengan magnitudo lebih dari 9 di lepas pantai barat Provinsi Aceh mendahului gelombang pasang raksasa, yang menewaskan 227.898 jiwa di 14 negara, dengan Indonesia menyumbang hampir separuh korban.

Oleh karena itu, sangat penting bagi negara-negara yang berada di Cincin Api Pasifik, seperti Indonesia, untuk menjaga kewaspadaan yang tinggi terhadap tsunami yang dipicu oleh gempa megathrust karena mereka berada di titik pertemuan tiga lempeng tektonik.

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sekitar 5.400 bencana alam melanda Indonesia pada tahun 2023, dengan sebagian besar di antaranya adalah bencana hidrometeorologi, seperti kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrem, banjir, longsor, kekeringan, dan gelombang pasang.

Dengan tekad untuk melindungi rakyatnya dari ancaman bencana, pemerintah Indonesia telah bergerak untuk memperkuat kapasitas mitigasi bencana dengan menguasai teknologi dan inovasi terkait.

Hal ini dilakukan seiring dengan pendidikan kepada anak-anak sekolah tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan bertahan dari bencana.

Indonesia tidak perlu hanya mengandalkan teknologi canggih untuk mengantisipasi bencana. Sebagai negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya, Indonesia dapat menggunakan hutan bakau yang tersebar di sepanjang garis pantainya yang sangat panjang untuk mengantisipasi tsunami.

Didik Widyatmoko, seorang peneliti lingkungan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mencatat bahwa selain untuk menjaga keanekaragaman hayati, ekosistem alam yang sehat dan terawat juga dapat membantu mengurangi dampak bencana alam.

MEMBACA  Meningkatkan kompetensi pegawai negeri untuk layanan publik berkualitas: LAN

Dia berpendapat bahwa kondisi lingkungan dan risiko bencana alam seperti dua sisi dari mata uang. Misalnya, menggunakan ekosistem mangrove untuk tujuan lain bisa membuat lingkungan lebih rentan terhadap dampak bencana alam.

Dia menunjuk cara hutan bakau melindungi warga desa Kabonga Besar di kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, dari bencana yang dibawa oleh tsunami pada tahun 2018. Selain itu, dampak tsunami Aceh pada tahun 2004 lebih sedikit di daerah yang ditutupi oleh mangrove.

Sebuah tim survei menemukan bahwa mangrove, dengan ketebalan 50-70 meter, melindungi rumah-rumah di desa Kabona Besar dari dampak yang seharusnya merusak dari tsunami tahun 2018.

Daerah pemukiman yang terletak di luar pelukan mangrove kemungkinan akan disapu oleh gelombang pasang dengan ketinggian sekitar lima meter.

Ketinggian gelombang menurun empat meter saat memasuki desa Kabosa Besar berkat vegetasi, yang layak mendapat label “perisai hijau”.

Bisa dikatakan bahwa Indonesia seharusnya lebih memperhatikan kondisi ekosistem mangrove-nya, yang meliputi 3,44 juta hektar lahan, untuk mengurangi risiko kerusakan yang disebabkan oleh bencana air.

Menyelamatkan mangrove

Menyadari keandalan mangrove dalam melindungi daerah pemukiman, pemerintah Indonesia terus menggerakkan lembaga untuk melestarikan sumber daya ekologis yang berharga ini.

Pada Oktober 2024, BNPB mengambil inisiatif untuk menanam sekitar enam ribu bibit mangrove untuk memperingati 20 tahun tsunami yang melumpuhkan Aceh.

Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap pelestarian mangrove, pemerintah telah menetapkan target untuk merehabilitasi 600 ribu hektar area mangrove melalui pendirian Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Untuk tujuan tersebut, pemerintah telah menerima bantuan dari Bank Dunia melalui program Mangrove for Coastal Resilience, yang bertujuan untuk merehabilitasi 75 ribu hektar hutan mangrove di Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur hingga tahun 2027.

MEMBACA  Pembukaan dan peringatan untuk Afrika

Pada awal 2024, pemerintah telah berhasil merehabilitasi sekitar 130 hektar hutan mangrove di seluruh negeri.

Suwignya Utama, kepala Kelompok Kerja Pendidikan dan Sosialisasi BRGM, menegaskan bahwa kebutuhan rehabilitasi mangrove berasal dari fakta bahwa kerugian atau penurunan hutan mangrove dapat mengakibatkan berbagai masalah ekologi.

Sebagai contoh, dia menyebut konsekuensi degradasi mangrove di desa Kuala Selat di kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, di mana ekosistem mangrove yang terlantar gagal melindungi warga setempat dari abrasi dan intrusi air laut, yang merusak kebun kelapa dan menenggelamkan bagian desa.

Kasus serupa dilaporkan di Demak, Jawa Tengah, di mana erosi dan abrasi pada 2.116 hektar lahan mengakibatkan resesi pantai.

Selain mencegah erosi dan abrasi, ekosistem mangrove juga memiliki kapasitas untuk mengurangi perubahan iklim dengan menangkap emisi karbon dioksida tiga hingga lima kali lebih banyak daripada hutan tropis.

Oleh karena itu, adalah hal yang wajar bagi Indonesia dan negara-negara di seluruh dunia untuk memberikan prioritas lebih tinggi pada pelestarian ekosistem tersebut.

Kolaborasi antara lembaga negara, organisasi masyarakat, dan masyarakat, termasuk di tingkat grassroot, sangat penting untuk upaya rehabilitasi mangrove yang berhasil dan efisien.

BRGM telah menjalin kerja sama dengan Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya melindungi hutan mangrove.

Sementara itu, Kementerian Kehutanan telah mengambil langkah untuk memperkuat upaya rehabilitasi mangrove Indonesia, termasuk dengan merancang peraturan pemerintah terkait.

Direktur rehabilitasi perairan daratan dan mangrove Kementerian itu, Inge Retnowati, mengatakan bahwa peraturan tersebut telah diselesaikan dan menunggu persetujuan Presiden Prabowo Subianto.

Dia menjelaskan bahwa peraturan tersebut diharapkan memberikan kerangka kerja terintegrasi untuk manajemen perlindungan mangrove lintas sektor dan lintas wilayah.

MEMBACA  Petunjuk Koneksi NYT Hari Ini, Jawaban untuk 1 Nov, #509

Menyebarkan informasi tentang nilai ekologis hutan mangrove kepada masyarakat di tingkat grassroot adalah prasyarat untuk keberlanjutan ekosistem tersebut.

Hal ini akan membantu menyatukan pemerintah, sektor swasta, dan anggota masyarakat dalam hal perlunya melindungi perisai hijau untuk keamanan yang lebih besar terhadap potensi bencana alam di daerah pesisir.