Menganyam keuntungan dengan tujuan di Nusa Tenggara Barat

Mataram (ANTARA) – Nita Setiawati mengangkat kepala ketika seorang pengunjung bertanya tentang motif kain yang sedang dia tenun menggunakan alat tradisional bernama gedogan. Di belakangnya, terdapat enam potong kain tenun dengan berbagai warna yang dipajang di gantungan kayu. “Tenun Bima masih menggunakan metode gedogan, sementara tenun lain sudah menggunakan mesin,” jelasnya. Bagi masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat, keterampilan menenun harus dikuasai tidak hanya oleh perempuan tetapi juga laki-laki. Nita, yang telah menenun sejak masih di sekolah dasar, kini berusia awal 30-an dan seorang ibu dua anak. Dia memperlihatkan keterampilannya di Festival Tenun Lombok Sumbawa yang diselenggarakan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 24 dan 25 Agustus 2024. Diselenggarakan oleh Bank Indonesia, acara tersebut bertujuan untuk melestarikan tradisi menenun di tengah maraknya produksi massal fashion cepat. Kegiatan menenun dengan gedogan tradisional adalah upaya untuk menjaga tradisi masyarakat Nusa Tenggara Barat. Suara kayu belida yang berdentum seperti alat musik dan melayang ke segala penjuru, memadatkan benang bordir. Gerakan tangan yang terampil menggunakan suri adalah tanda ketekunan yang tercipta oleh waktu dan kesabaran. Bagi masyarakat Bima yang tinggal di wilayah timur Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, menenun bukan hanya sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan pakaian, tetapi juga melambangkan tiga kekuatan utama jiwa manusia – kreativitas, perasaan, dan kemauan. Setiap potong kain tenun mencerminkan jiwa pengrajin dan kondisi lingkungan. Itulah mengapa motif tenunan sering cenderung menggambarkan bunga, tumbuhan, dan rumah-rumah tradisional. Sebuah jurnal tentang perkembangan motif kain tenun Bima dari Departemen Teknologi Industri, Universitas Pendidikan Ganesha, mengungkapkan bahwa kain tenun yang dibuat oleh para pengrajin tidak hanya berfungsi secara fungsional atau aspek tradisional, tetapi juga dibuat berdasarkan pertimbangan sosial, estetika, dan ekonomi. Nita – yang telah menenun selama dua dekade – mengatakan bahwa proses pembuatan selembar kain tenun Bima berukuran 60 sentimeter lebar dan 4 meter panjang membutuhkan waktu 4 hingga 5 hari. Selembar kain tenun dijual seharga Rp800 ribu. Jika motifnya rumit dan menggunakan pewarna alami dari tanaman, maka harga selembar kain tenun bisa mencapai jutaan rupiah. Kain tenun adalah perwujudan karya seni yang diliputi oleh elemen-elemen budaya yang sangat dalam. Setiap potong kain tenun mengisahkan kisah peradaban dan mata pencaharian. Dari kapas menjadi kain Berdasarkan Statistik Perkebunan Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian, perkebunan kapas dan produksi kapas di Nusa Tenggara Barat fluktuatif dalam periode 2018 hingga 2020. Pada tahun 2018, luas perkebunan kapas di Nusa Tenggara Barat tercatat sebesar 945 hektar dengan luas panen 258 hektar, yang hanya menghasilkan 46 ton kapas. Setahun kemudian, luas perkebunan kapas menyusut drastis menjadi 200 hektar dengan luas panen 395 hektar. Volume produksi kapas pada saat itu tercatat sebesar 70 ton. Pada tahun 2020, produksi kapas di Nusa Tenggara Barat turun menjadi 68 ton dengan luas tanam dan luas panen masing-masing sebesar 150 hektar. Penurunan luas lahan pertanian akibat ekspansi pembangunan permukiman dan fasilitas umum serta kultur tanam kapas yang kurang diminati dibandingkan dengan menanam tanaman pangan adalah faktor yang membuat budidaya kapas kurang menjanjikan di mata petani. Kapas merupakan komponen penting dalam industrialisasi penenunan. Pada tahun 2019, kapas yang diproduksi di Nusa Tenggara Barat, khususnya Lombok, dijual ke Bali dengan harga murah. Di Bali, kapas tersebut dijadikan benang dan kemudian dibeli dengan harga tinggi oleh para penenun di Lombok dan Sumbawa. Pendirian rumah pakaian di desa Giri Tembesi – yang dikenal sebagai desa kapas Kabupaten Lombok Barat – bertujuan untuk memacu kemajuan di perkebunan kapas dalam skala industri di Nusa Tenggara Barat. Saat ini, semua proses – mulai dari pengumpulan kapas, memintalnya menjadi benang, dan menenun kain – dapat dilakukan secara mandiri oleh warga lokal. Pengadaan bahan baku langsung dari petani tentu lebih murah dan memiliki jejak karbon yang lebih rendah daripada menggunakan bahan baku impor dari luar daerah, apalagi dari luar negeri. Jika industrialisasi penenunan terus ditingkatkan dan diperluas, namun tidak seimbang dengan peningkatan sektor hulu – kapas dan benang – hal ini berpotensi mengancam misi industrialisasi karena produksi bahan baku tidak akan mencukupi untuk memenuhi permintaan industri dan oleh karena itu, bahan baku impor perlu diimpor dari luar negeri. Langkah konkret yang harus segera diambil sekarang adalah memperluas luas tanam dan meningkatkan produksi kapas untuk mendukung industrialisasi penenunan di Nusa Tenggara Barat. Mengembangkan produk turunan Seorang ekonom dari Universitas Mataram, Muhammad Firmansyah, mengatakan bahwa menenun adalah kerajinan turun-temurun dan kini, masyarakat menganggapnya sebagai peluang bisnis karena keunikannya produk jadi. Dari segi keunggulan komparatif, menenun sudah memiliki keunggulan karena sifatnya yang khusus. Namun, menenun belum memiliki keunggulan kompetitif karena harganya yang relatif tinggi. Agar menenun menjadi produk yang kompetitif, biaya produksi berupa tenaga kerja, waktu pengolahan, dan harga bahan baku harus diminimalkan sebanyak mungkin. Kandungan lokal tenun hanya ada pada proses manufaktur, sedangkan bahan baku berupa benang sebagian besar masih diimpor dari negara lain, seperti China dan India. Inilah alasan mengapa harga kain tenun per lembar tidak murah, sehingga hanya bisa dinikmati oleh kelas menengah dan atas. Dalam struktur bisnis, segmentasi pasar sangat penting agar produk kain tradisional bisa sampai ke semua tingkatan konsumen. Bahkan merek fashion terkenal yang menjual jas dengan harga jutaan rupiah juga memproduksi sapu tangan yang dijual hanya dengan puluhan ribu rupiah. Industri tenun harus belajar bagaimana menciptakan pasar yang luas dengan harga terjangkau untuk semua golongan. Nilai budaya unik kain tenun tentu tidak cukup sebagai modal untuk bertahan di tengah persaingan industri fashion yang beragam dan dinamis. Melalui ruang kreatif desainer, kain tenun mulai menyebar ke berbagai produk turunan seperti pakaian, celana, tas, dan oleh-oleh. Proses menenun tidak lagi terbatas pada lembaran kain atau sarung. Menenun telah bertransformasi menjadi mode yang lebih sederhana. Slogan “Bangga Buatan Indonesia” juga memperkuat antusiasme desainer dan penenun dalam menciptakan berbagai mode kreatif yang sarat dengan nilai budaya, namun juga kompetitif dari segi harga. Pengrajin kain tenun harus mampu memanfaatkan peluang di industri fashion global. Tren fashion yang memanfaatkan tenunan menjadi magnet bagi kedua generasi, baik yang lebih tua maupun yang lebih muda. Selembar kain tenun yang utuh yang awalnya dijual dengan harga jutaan rupiah dan hanya bisa dibeli oleh golongan tertentu juga harus dinikmati oleh golongan bawah melalui berbagai produk turunan. Pasar tenun harus diperluas dan dibuat lebih inklusif, sejalan dengan perkembangan pesat industri fashion saat ini. Berita terkait: Ikat bagian integral dari kehidupan masyarakat Sumba: Kemenparekraf Berita terkait: Kementerian mengumpulkan data tentang ekosistem tekstil tenun Sumba Timur Berita terkait: Kementerian reiterasi komitmen untuk melestarikan seni kain tradisional
Copyright © ANTARA 2024

MEMBACA  Wysh Mengumumkan Integrasi Manfaat Hidup dengan Platform Perbankan Digital Q2 oleh Investing.com