Jakarta, VIVA – Menurut para ahli regional, gelombang kedatangan warga Tiongkok ke Indonesia dan Asia Tenggara harus diteliti dengan kerangka akademik dan kebijakan baru.
Baca Juga:
Perkuat Kolaborasi Kebudayaan, GP Ansor Luncurkan Chinese Learning Center dan Positif Game Ecosystem
Alih-alih menyebut mereka sekadar "migran," para ahli menyarankan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehadiran dan dampaknya, mengingat kompleksitas peran dan tujuan mereka.
Perspektif ini diungkapkan oleh Profesor Leo Suryadinata, pakar diaspora Tionghoa dari ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, dalam seminar berjudul “Peran Migran Baru Tiongkok (Xin Yimin) di Asia Tenggara” di Universitas Pelita Harapan (UPH), Jakarta, pada 25 Juni 2025.
Baca Juga:
22 Tewas dalam Kebakaran Pabrik Baterai Lithium di Korea Selatan
Acara ini diselenggarakan bersama oleh Program Magister Ilmu Komunikasi dan Hubungan Internasional UPH serta Forum Studi Tiongkok Indonesia (FSI).
Profesor Suryadinata, penerima penghargaan budaya Indonesia tahun 2018, menjelaskan bahwa istilah "migran" kerap digunakan secara longgar untuk pendatang baru dari Tiongkok yang umumnya bersifat sementara.
Baca Juga:
Muslim Tionghoa: Beradaptasi dan Menjadi Bagian dari Indonesia
Mereka datang sebagai pekerja, pelajar, atau investor dalam kelompok besar dan jarang berasimilasi dengan masyarakat lokal. "Mereka berbeda dari generasi tua Tionghoa yang bermigrasi karena kemiskinan dan memilih membangun hidup baru di Asia Tenggara," ujarnya.
"Mereka tidak menganut prinsip luodi shenggen—menanam akar di tanah baru. Mereka seperti daun teratai yang mengambang tanpa berlabuh," tambahnya.
Forum Studi Tiongkok Indonesia (FSI)
Foto: Forum Studi Tiongkok Indonesia
Berbeda dengan generasi sebelumnya—kebanyakan dari Fujian, Guangzhou, atau Hainan—yang berintegrasi dengan budaya lokal dan menjadikan Asia Tenggara sebagai tanah air, Xin Yimin hanya melihat kawasan ini sebagai tempat persinggahan.
"Karena jumlah mereka besar, mereka cenderung berinteraksi hanya dalam lingkaran sendiri, sehingga integrasi sulit terjadi," kata Suryadinata. Ia memperingatkan bahwa hal ini bisa memicu ketegangan sosial.
Kehadiran mereka sering terkait dengan proyek investasi besar Tiongkok, yang membawa peluang sekaligus tantangan. "Ada manfaat seperti alih teknologi murah, tapi dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan pengabaian tenaga lokal juga tidak bisa diabaikan," jelasnya.
Suryadinata juga menyoroti masalah sindikat perjudian online lintas batas yang melibatkan warga Tiongkok di Laos, Myanmar, dan Filipina. Ia mendorong pembuat kebijakan dan akademisi untuk mengambil pendekatan kritis namun adil.
Sejalan dengan itu, Triyono, M.A., peneliti BRIN, menekankan manfaat ekonomi investasi Tiongkok di Sulawesi Tengah dan Tenggara, di mana industri smelter mendongkrak perekonomian lokal. "Ini sisi positif yang jarang diberitakan," katanya.
Namun, ia mengakui adanya gesekan budaya. "Ada salah paham dan prasangka dari kedua belah pihak yang bisa memicu konflik," ujarnya.
Untuk mencegah ketegangan, Triyono menyarankan pendirian lembaga mediasi sengketa kerja, fasilitasi adaptasi budaya, dan penguatan CSR—terutama dalam pengelolaan limbah dan lingkungan.
Sementara itu, Dr. Johanes Herlijanto, Ketua FSI dan dosen UPH, mengingatkan agar tidak menyamakan pendatang baru dengan komunitas Tionghoa yang sudah lama menetap. "Tidak adil menyamakan mereka. Warga Tionghoa Indonesia sudah berakar dan berkontribusi besar bagi bangsa. Mereka orang Indonesia pertama-tama," tegasnya.
Herlijanto mencatat bahwa generasi muda Tionghoa Indonesia semakin vokal menyuarakan identitas nasional mereka, terutama di media sosial. "Mereka bangga menyebut diri Tionghoa Indonesia, bukan Tionghoa daratan," tutupnya, seru mendukung keberagaman Indonesia.