Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah namun menyembunyikan risiko bencana, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami, karena posisinya berada dalam Cincin Api Pasifik dan dekat dengan zona gempa, termasuk wilayah megathrust. Sebagai hasilnya, masyarakat Indonesia sudah sangat mengenal bahaya yang ditimbulkan oleh bencana tersebut, terutama yang terkait dengan aktivitas megathrust.
Gempa megathrust adalah peristiwa seismik yang sangat kuat yang terjadi di zona subduksi, yaitu wilayah di mana satu lempeng tektonik Bumi dipaksa di bawah lempeng lain. Meskipun kedua lempeng tetap bergerak menuju satu sama lain, mereka terjebak di titik kontak mereka, menyebabkan penumpukan tekanan yang melebihi gesekan di antara mereka. Gempa megathrust memiliki potensi untuk menghasilkan tsunami karena pergerakan thrust yang signifikan menciptakan pergeseran vertikal yang substansial pada dasar laut. Pergeseran ini menggeser volume air yang besar, yang dapat menyebabkan terbentuknya tsunami saat radiasi menjauh dari gangguan di bawah air.
Indonesia memiliki beberapa zona subduksi yang membentang dari ujung Pulau Sumatera hingga Papua. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGen) pada tahun 2017 menemukan bahwa Indonesia dikelilingi oleh 13 zona megathrust, termasuk zona megathrust Selat Sunda, yang sebagian membentang dari selatan Jawa hingga Bali, segmen Mentawai-Siberut di barat Sumatera, segmen Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, segmen Sulawesi utara, dan Papua utara.
Direktur Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menyatakan bahwa dari 13 segmen zona megathrust, pemerintah berfokus pada segmen Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Kedua segmen memiliki potensi gempa bumi dengan kekuatan besar yang mengancam keselamatan penduduk.
Untuk mengantisipasi bahaya tersebut, mitigasi diperlukan untuk mengurangi risiko dampak yang disebabkan oleh gempa megathrust dan tsunami, seperti dengan memanfaatkan teknologi modern untuk mendeteksi bahaya potensial dan juga memperkuat kesiapan masyarakat melalui serangkaian pelatihan, spesifikasi penyelamatan atau evakuasi, dan memastikan struktur bangunan tahan gempa.
Indonesia telah melakukan langkah-langkah signifikan dalam meningkatkan kesiapannya menghadapi gempa bumi dan tsunami dengan memanfaatkan teknologi modern untuk sistem deteksi dan peringatan dini, serta dengan memberdayakan masyarakat melalui pelajaran dari bencana masa lalu.
Gempa bumi dan tsunami Samudera Hindia yang menghancurkan Aceh pada tahun 2004 menjadi titik balik dalam mitigasi bencana Indonesia. Gempa bumi dengan magnitudo lebih dari 9,0 yang memicu gelombang tsunami 20 meter menewaskan lebih dari 170 ribu warga Aceh.
Menurut Pusat Kebijakan Anggaran Negara Kementerian Keuangan, peristiwa tersebut menyebabkan kerugian sebesar Rp51,4 triliun (USD3 miliar).
Indonesia terus meningkatkan sistem peringatan dini dengan dukungan beberapa negara, termasuk Jepang, Jerman, dan Prancis. Dibutuhkan empat tahun bagi Indonesia untuk memiliki sistem peringatan dini berbasis teknologi sensor ini. Sistem Peringatan Dini Indonesia (Ina-TEWS) resmi dioperasikan pada tahun 2008.
Saat ini, Indonesia memiliki 600 unit sensor seismik, 240 unit pengukur pasang surut, dan 36 unit Stasiun Cuaca Otomatis (AWS). Alat-alat ini dipasang di beberapa wilayah, khususnya yang rentan terhadap gempa bumi dan tsunami.
Ina-TEWS, yang didasarkan pada sensor seismik-pasang surut, telah menjadi tulang punggung upaya mitigasi gempa bumi-tsunami hingga saat ini.
Sistem ini memberikan peringatan dini tentang potensi tsunami dalam waktu singkat, sekitar tiga menit setelah gempa bumi terjadi.
Informasi peringatan dini tentang bahaya bencana dapat disebarkan secara real time melalui Internet, pemancar siaran televisi, dan layanan radio yang dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi).
Kecepatan pengiriman informasi ini dianggap memadai untuk memberikan kesempatan berharga kepada masyarakat untuk dievakuasi.
Selama sebuah simposium tsunami internasional yang melibatkan para ahli seismologi global di Provinsi Aceh, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menekankan perlunya Indonesia untuk memperoleh peralatan sensor bawah air yang mampu mendeteksi dengan akurat potensi tsunami yang dipicu oleh peristiwa seismik, seperti gempa bumi, dan aktivitas non-seismik, seperti gunung laut.
Karnawati mencatat bahwa ratusan unit sensor saat ini di Indonesia terutama terbatas pada mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh aktivitas seismik dan kurang akurasinya untuk mengidentifikasi yang dipicu oleh peristiwa non-seismik.
Letusan Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018 menjadi pengingat akan bahaya potensial tsunami yang dipicu oleh aktivitas non-seismik ini. Saat itu, tsunami sepanjang lima meter datang tanpa peringatan dini dan menghantam pantai provinsi Banten dan Lampung, menewaskan lebih dari 400 orang.
Delapan tahun yang lalu, gempa bumi berkekuatan 7,8 melanda Mentawai, Sumatera Barat, menyebabkan tsunami dengan gelombang mencapai tiga hingga 10 meter tingginya. Peristiwa ini seharusnya menjadi perhatian, terutama setelah identifikasi zona megathrust di Mentawai-Siberut yang berpotensi menyebabkan gempa bumi lebih besar melebihi magnitudo 8,9.
Semua teknologi modern ini harus didampingi oleh kesiapsiagaan dan kesadaran masyarakat, terutama bagi mereka yang secara langsung terpapar potensi bahaya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menekankan bahwa pembentukan masyarakat tangguh bencana adalah langkah penting.
BNPB mencatat bahwa lebih dari 53 ribu desa di Indonesia berada di daerah rawan bencana. Sebanyak 45.977 desa berada di daerah rawan gempa bumi, 5.744 desa terletak di daerah rawan tsunami, dan 2.160 desa berisiko erupsi gunung berapi. Populasi yang tinggal di daerah rawan bencana ini diperkirakan mencapai 51 juta keluarga.
Desa-desa tersebar mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, bagian selatan Jawa Barat, bagian selatan Jawa Timur, bagian timur Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah-Palu, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Papua.
Dengan kondisi ini, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mendidik dan membangun kesiapsiagaan masyarakat.
Berdasarkan data terbaru, hanya 36 ribu desa yang terverifikasi sebagai tangguh bencana. Angka ini masih jauh dari cukup untuk melindungi semua daerah rawan bencana.
Desa Tangguh Bencana (Destana) adalah program andalan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi ancaman gempa bumi dan tsunami. Ini termasuk serangkaian pelatihan pengelolaan risiko, evakuasi mandiri, penyediaan fasilitas dan infrastruktur darurat, dan persiapan rute evakuasi beserta peta dan petunjuk.
Peran Destana dapat ditingkatkan dengan penyediaan hunian tahan gempa, tempat evakuasi, dan penegakan regulasi ketat terkait pembangunan kawasan pemukiman dan destinasi wisata di daerah pantai.
Menurut studi para ahli, jika gempa bumi berlangsung lebih dari 30 detik, ada kemungkinan 75 persen akan terjadi tsunami berikutnya. Karakteristik tsunami dapat diamati melalui mundurnya air laut atau berhentinya hembusan angin.
Oleh karena itu, teknologi modern untuk deteksi bencana diperlukan dan harus disertai dengan peningkatan kesadaran dan kesiagaan masyarakat. Semua upaya ini bertujuan untuk membangun pembangunan berkelanjutan di tengah ancaman bencana.