Jakarta (ANTARA) – Dalam beberapa tahun terakhir, komunitas internasional telah menyaksikan tingkat perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menghadapi ancaman yang lebih mengerikan seperti peningkatan suhu global dan kenaikan intensitas banjir pasang laut.
Hal ini mendorong negara-negara, terutama negara-negara kepulauan seperti Indonesia, untuk lebih banyak berinvestasi dalam langkah-langkah mitigasi. Bahkan sebelum meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016, Pemerintah Indonesia bergerak untuk mengambil langkah-langkah untuk mitigasi dan adaptasi terhadap realitas baru.
Langkah-langkah tersebut termasuk peluncuran program Desa Iklim pada tahun 2012 untuk mempersiapkan warga di tingkat grassroot menghadapi dampak perubahan iklim. Selain itu, pemerintah telah konsisten dalam mengejar dekarbonisasi dua sektor yang paling banyak berkontribusi terhadap emisi karbon di Indonesia: kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU) dan energi.
Di sini, perlu dicatat bahwa implementasi optimal dari inisiatif iklim membutuhkan alokasi dan mobilisasi anggaran yang besar dari pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, adalah hal yang wajar bagi Indonesia untuk mencari dukungan keuangan dari mitra asing dan juga mempromosikan perdagangan karbon melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) yang diluncurkan tahun lalu.
Lakshmi Dhewanti, wakil untuk pengendalian perubahan iklim dan pengaturan nilai ekonomi karbon di Kementerian Lingkungan Hidup, mengkonfirmasi bahwa ketersediaan dana yang cukup merupakan salah satu hambatan terbesar dalam tindakan iklim.
Untuk alasan tersebut, pemerintah telah memutuskan untuk memberikan perhatian khusus pada inovasi terkait pembiayaan tindakan iklim dan inisiatif lingkungan serupa. Hingga saat ini, Indonesia telah berhasil mengamankan komitmen pendanaan dari pihak internasional dalam skema pembayaran berbasis hasil (RBP) untuk mengendalikan deforestasi di tanahnya. Pada awal 2024, Indonesia menerima USD103,8 juta dari Dana Iklim Hijau (GCF) atas kesuksesannya dalam memotong emisi karbon sebesar 20,3 juta ton selama periode 2014-2016.
Norwegia telah menjadi salah satu mitra Indonesia yang mencolok dalam pengurangan emisi karbon. Negara Skandinavia tersebut memberikan USD56 juta dan USD100 juta pada tahun 2022 dan 2023, masing-masing, untuk berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 31,7 juta ton dalam periode 2016 hingga 2019.
Kemitraan pendanaan seperti itu juga diterapkan di tingkat sub-nasional di Indonesia. Misalnya, pemerintah provinsi Kalimantan Timur akan menerima USD110 juta dari Dana Karbon Hutan dari Fasilitas Mitigasi Karbon untuk Pengurangan Emisi (FCPF-CP) atas pengurangan emisi sebesar 20 juta ton selama lima tahun terakhir.
Sementara itu, untuk memotong 14 juta ton emisi karbon pada tahun 2020-2025, pemerintah provinsi Jambi akan mendapatkan USD70 juta dari Dana BioCarbon. Pada awal bulan ini, pemerintah provinsi Kalimantan Barat menerima hibah senilai Rp1 triliun untuk mendanai program-program perlindungan hutan lokal dan memberdayakan mereka yang tinggal di sekitar daerah tersebut selama tujuh tahun ke depan.
Selain pendanaan tindakan iklim, upaya Indonesia untuk menilai secara ekonomis emisi karbon juga sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi nasional delapan persen yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Dengan demikian, Pemerintah Indonesia menyadari bahwa aktualisasi target tersebut harus sejalan dengan promosi dan implementasi pembangunan hijau, tahan bencana, dan inklusif bagi semua warga. Dalam pidato di Konferensi Perubahan Iklim PBB atau Konferensi Para Pihak (COP) 29 di Baku, Azerbaijan, pada 13 November 2024, saudara Prabowo dan utusan khusus untuk energi dan lingkungan, Hashim Djojohadikusumo, menginformasikan bahwa Indonesia bertujuan untuk mengoptimalkan pasar karbon untuk mendanai inisiatif hijau.
Beliau menekankan bahwa Indonesia memiliki cadangan kredit karbon sebesar 577 juta ton untuk ditawarkan kepada negara-negara dan pihak-pihak untuk mendukung secara finansial pengendalian perubahan iklim di negara ini. Indonesia telah berhasil mengamankan perjanjian pengakuan timbal balik (MRA) tentang perdagangan karbon bilateral dengan Jepang, yang langsung sejalan dengan mandat yang diajukan dalam Perjanjian Paris, khususnya Pasal 6.2 yang mempromosikan kerjasama karbon bilateral dan Pasal 6.4 tentang perdagangan karbon.
MRA, yang merupakan model kerja sama bilateral pertama di dunia dalam kerangka Perjanjian Paris, mulai berlaku pada 28 Oktober 2024. Hal ini diharapkan akan mendorong Indonesia dan Jepang untuk saling mengakui metodologi mitigasi mereka, perhitungan pengurangan emisi, sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV), serta sertifikasi kredit karbon.
Mengikutsertakan masyarakat. Indonesia telah mengoperasikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk mengelola dana hijau yang diterima dari pihak-pihak domestik dan internasional senilai total Rp24,96 triliun. Rencananya bukan hanya untuk menggerakkan dana tersebut untuk mendukung implementasi tindakan iklim pemerintah pusat dan daerah dan langkah-langkah konservasi, tetapi juga memungkinkan anggota masyarakat untuk mengakses sebagian dana di bawah program Dana Rakyat untuk Lingkungan yang diluncurkan tahun ini.
Joko Tri Haryanto, direktur utama BPDLH, menjamin bahwa pemerintah bersedia untuk mendukung keuangan komunitas atau kelompok yang ingin melaksanakan inisiatif perubahan iklim serta akademisi yang memerlukan dana untuk penelitian lingkungan terapan. Dana tersebut tersedia untuk sekolah pro-lingkungan, aktivis lingkungan, pemenang penghargaan lingkungan “Kalpataru”, bank sampah pusat, dan mereka yang terlibat dalam pengelolaan sampah berkelanjutan, antara lain. Mereka dapat menerima sebagian dana dalam bentuk hibah skala kecil.
Terkait penelitian terapan, BPDLH telah mengalirkan dana hijau ke total 15 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Cara pengelolaan dana hijau ini diharapkan dapat membantu Indonesia meningkatkan dan membawa masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim dan emisi karbon—yang cenderung dianggap sebagai masalah tingkat tinggi yang dibahas dalam pengaturan pemerintah dan internasional—ke tingkat yang lebih nyata dalam masyarakat, memastikan bahwa warganya didukung, diberdayakan, dan terlibat dalam inisiatif lingkungan.
Berita terkait: Jokowi membahas kerja sama bilateral dengan Presiden Uni Emirat Arab di Dubai
Berita terkait: Indonesia menaikkan target pengurangan emisi gas rumah kaca
Copyright © ANTARA 2024