memuat…
Ayat kedua dan ketiga yaitu surat Ali-Imran ayat 159 dan Asy-Syura ayat 38 berbicara lebih umum dalam konteks yang luas.. Ilustrasi: Ist
Al-Qur’an menggunakan kata syura dalam tiga ayat. Pertama, surat Al-Baqarah ayat 233 yang membicarakan kesepakatan (musyawarah) yang harus ditempuh suami istri kalau mereka ingin menyapih anak sebelum dua tahun. Ini menunjukkan suami istri dalam memutuskan sesuatu dalam sebuah rumah tangga atau menyelesaikan masalah dalam rumah tangga harus dengan cara bermusyawarah.
Adapun ayat kedua dan ketiga yaitu surat Ali-Imran ayat 159 dan Asy-Syura ayat 38 berbicara lebih umum dalam konteks yang luas.
فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنۡتَ لَهُمۡۚ وَلَوۡ كُنۡتَ فَظًّا غَلِيۡظَ الۡقَلۡبِ لَانْفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِكَ ۖ فَاعۡفُ عَنۡهُمۡ وَاسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى الۡاَمۡرِۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى اللّٰهِؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الۡمُتَوَكِّلِيۡنَ
Fabimaa rahmatim minal laahi linta lahum wa law kunta fazzan ghaliizal qalbi lanfadduu min hawlika fafu ‘anhum wastaghfir lahum wa shaawirhum fil amri fa izaa ‘azamta fatawakkal ‘alal laah; innallaaha yuhibbul mutawak kiliin
Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. ( QS Ali Imran :159)
Maksud dari ayat ini ialah urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya, Allah memerintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk dimusyawarahkan dengan para sahabat. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa perang Uhud yang membawa kekalahan umat Islam.
Sedangkan dalam al-Quran surat Asy-Syura yakni:
وَالَّذِيۡنَ اسۡتَجَابُوا لِرَبِّهِمۡ وَاَقَامُوۡا الصَّلٰوةَۖ وَاَمۡرُهُمۡ شُوۡرٰى بَيۡنَهُمۡۖ وَمِمَّا رَزَقۡنٰهُمۡ يُنۡفِقُوۡنَۚ
Wallaziinas tajaabuu li Rabbhim wa aqoomus Salaata wa amruhum shuuraa bainahum wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun
Artinya: dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. ( QS Asy-Syura ayat 38)
Dalam surat ini Allah SWT menggambarkan sifat orang mukmin
yang salah satunya adalah mementingkan musyawarah dalam setiap
persoalan yang mereka hadapi, bermusyawarah dalam menyelesaikan segala macam persoalan baik itu politik, negara, rumah tangga dan lain sebagainya yang menyangkut untuk kemasalahatan bagi umat Allah menyuruh kita untuk bermusyawarah.
Adapun bagaimana cara melakukan musyawarah, Allah SWT tidak menentukan secara terperinci. Ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia.
Dalam satu pemerintahan atau negara, boleh saja musyawarah ini dilakukan dengan membentuk suatu lembaga tersendiri, seperti perlemen atau apapun namanya. Dalam lembaga ini boleh jadi para anggotanya melakukan musyawarah secara berkala pada periode tertentu yang disepakati bersama.
Dalam pengambilan keputusan tidak berarti suara terbanyak mutlak harus di ikuti. Adakalanya keputusan diambil berdasarkan keputusan suara minoritas kalau ternyata pendapat tersebut lebih logis dan lebih baik dari suara mayoritas.
Sebagai contoh, khalifah Abu Bakar pernah mengabaikan suara mayoritas dalam masalah sikap terhadap para pembangkang zakat. Sebagian besar sahabat senior yang dimotori Umar bin Khattab berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat kepada Abu Bakar tetap muslim tidak usah diperangi.
Sementara sebagian kecil sahabat berpendapat supaya mereka diperangi. Abu bakar memilih pendapat kedua. Pendapat ini akhirnya di setujui oleh “forum” dan Abu Bakar Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat.
Taufik Muhammad Asy-Syawi dalam buknya yang diterjemahkan Djamaludin Z.S, berjudul “Fiqhusy-Syura WalIstisyarat; Syura Bukan Demokrasi” (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) menjelaskan musyawarah dapat dilakukan dalam hal-hal apa saja asalkan tidak bertentangan dengan prinsip umum syari’at Islam.
Selain itu, karena melibatkan kalangan ahli yang mempunyai pandangan jauh ke depan, maka hasil keputusan musyawarah akan lebih mendekati kesempurnaan.
“Demikian juga karena diputuskan secara bersama, masing pihak hendaknya harus bertanggungjawab terhadap hasil musyawarah itu,” ujarnya.
(mhy)