Membangun masa depan dengan tangan sendiri di bagian timur Indonesia

Jakarta (ANTARA) – Seorang staf Kementerian Sosial menghibur Maria Evin yang sedih saat dia memeluknya. “Nyonya, jangan sedih, ya? Menteri Sosial akan datang ke sini,” kata staf kementerian kepada Evin. Wanita paruh baya itu tidak dapat menahan air matanya ketika salah satu anggota staf dari Kementerian Sosial datang dengan kabar baik bagi dirinya dan keluarganya. Seperti pertanda dari Tuhan Yang Maha Kuasa, hujan pun lenyap, dan awan gelap memberi jalan pada matahari.

Pertukaran yang menyentuh hati terjadi di Heso, sebuah pemukiman kecil di Desa Golo Wune, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini adalah salah satu tempat di bagian timur Indonesia di mana gunung-gunung menjulang tinggi ke langit, dan permukaannya selalu disentuh kabut dan awan.

Seperti pepatah populer yang mengatakan, “tidak ada makan siang gratis,” sebuah harga harus dibayar untuk segala sesuatu yang indah. Di NTT, dingin yang menusuk dan jalur-jalur curam adalah harga kecil yang harus dibayar jika seseorang ingin menikmati pemandangan alam yang alami, dengan udara yang masih murni dan tidak tercemar polusi.

Sebelumnya, kebisingan dan debu dari ban mobil off-road yang melintasi jalur berbahaya ditelan oleh hujan deras. Seseorang harus memiliki kesabaran yang luar biasa, kemauan baja, dan beberapa obat untuk sampai di Heso.

Setelah sambutan, Evin menunjukkan rumahnya yang hanya beberapa langkah dari situ. Bagi mereka yang hidup dengan nyaman, ruang dua kali tiga meter persegi dapat berfungsi sebagai kamar untuk satu orang. Namun, realitasnya jauh berbeda bagi Evin. Di ruang yang sangat sempit itu, dia tinggal bersama tiga anaknya yang bernama Riski, Ridwan, dan Hilda. Putri sulungnya sudah menikah dan tinggal di desa tetangga.

Rumahnya dalam kondisi yang mengkhawatirkan, karena dibangun menggunakan kayu-kayu lama, dengan celah besar di antara mereka, ditambah banyak lubang di atap. Mereka menutupi lubang-lubang di dinding dengan apa pun kain lama yang mereka miliki. Saat hujan turun, dingin menjadi tidak tertahankan, dan mereka harus mencari perlindungan di tempat tetangga mereka.

MEMBACA  BWF Thailand Masters 2024 Akan Segera Dimulai, Indonesia Mengirimkan 18 Wakil! Catat Tanggal Tayang di Vision+

Di dalam rumah, hanya ada sebuah sofa yang sudah usang, tertutup terpal biru, untuk seluruh keluarga tidur. Ruang itu juga terhubung ke dapur di sebelah pintu yang memiliki rak untuk menyimpan kayu yang akan digunakan untuk bahan bakar memasak di panci yang tergantung di bawah rak.

Ketika malam tiba, kegelapan menelan tempat itu, karena rumahnya tidak memiliki listrik. Hanya cahaya yang datang dari lampu minyak sederhana, berbeda dengan rumah-rumah lain yang sudah teraliri listrik. Dia tidak memiliki dana untuk memperbaiki rumahnya atau menginstal listrik.

Dia bekerja sebagai petani dan dibayar Rp25 ribu (US$1,6). Karena jumlah itu nyaris cukup, dia juga mengumpulkan batu, dan setiap bulan, dia dibayar Rp350 ribu (US$22,26) untuk satu truk muatan batu.

Karena keterbatasan anggaran, salah satu anaknya putus sekolah untuk membantu di rumah. Itu sedih. Namun, kesedihan dan tunggu segera berakhir ketika berita tentang kisahnya menyebar di internet. Berdiri di tanah sendiri Maria Evin (kedua kanan) bersama anak-anak dan cucunya di depan rumahnya di Heso, Desa Golo Wune, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, Minggu (25/2/2024). Kementerian Sosial segera membantu Maria Evin setelah kisah kesulitannya diumumkan oleh media massa. (ANTARA/Mecca Yumna) Berita tentang kisahnya menyebar luas hingga akhirnya sampai ke Menteri Sosial Tri Rismaharini. Begitu berita diterima, bantuan dikirim kepada Evin melalui Pusat Efata. Bantuan tersebut terdiri dari bahan makanan pokok dan produk kebersihan, Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru, dan Kartu Keluarga (KK).

Selain itu, kementerian memfasilitasi kepemilikan tanah Evin yang saat ini dipegang oleh keluarga suaminya.

Langkah terakhir diambil untuk menghindari gesekan di antara keluarga atas rumah yang akan dibangun oleh kementerian untuk Evin di atas tanah itu.

Evin memiliki suami, meskipun dia menikah lagi di Kalimantan. Dia pergi ke Kalimantan pada tahun 2015, mencari kehidupan yang lebih baik di sana. Pada tahun 2017, dia dan anak-anaknya mengikuti dan tinggal, sampai anak keempat lahir.

MEMBACA  Bek Australia Memohon Wasit Mengawasi Taktik Rugby menjelang Pertandingan Melawan Timnas Indonesia

Saat mereka di sana, pria yang seharusnya menjadi kepala keluarga tidak pernah memperhatikan kebutuhan perempuan dan anak-anaknya. Oleh karena itu, pada tahun 2021, mereka memutuskan untuk kembali ke NTT. Bahkan ketika mereka kembali, tidak ada yang dikirim pulang untuk memastikan kehidupan mereka.

Evin cukup terampil dalam menenun, meskipun dia tidak memiliki sarana atau waktu untuk menjalankan bisnis dari itu. Oleh karena itu, kementerian sedang mempertimbangkan bentuk bantuan lain yang merupakan aset untuk bisnis menenun serta babi untuk anaknya merawat.

Selama kunjungannya ke Desa Golo Wune, Rismaharini mengingatkan para pria dan pemuda untuk mengambil kisah Evin sebagai pelajaran, dan biarkan kasusnya menjadi yang terakhir dari jenisnya. Tidak ada pria atau anak muda yang boleh meninggalkan tanah.

Mantan walikota Surabaya juga mendorong para wanita untuk berkontribusi dalam pembangunan desa melalui proyek-proyek padat karya, karena dia percaya bahwa para wanita kuat. Mereka memiliki kekuatan untuk membawa janin selama sembilan bulan, jadi mereka memiliki kekuatan untuk melakukan lebih banyak.

Dia percaya bahwa desa memiliki potensi alam yang melimpah yang dapat dimanfaatkan, seperti sawah, ditambah dengan hutan yang lebat. Melalui usaha dan kemauan, masyarakat dapat hidup sejahtera dan tidak lagi harus mengalami apa yang dialami Evin.

Memulai kecil untuk Indonesia Timur yang lebih baik Masih di NTT, meskipun terpisah oleh ratusan kilometer lautan, upaya untuk mengelola sumber daya wilayah secara mandiri ditempuh oleh Pusat Efata Kupang. Orang-orang yang rentan secara sosial seperti Evin ikut serta dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh kementerian untuk perbaikan masa depan mereka.

Meskipun merana di bawah kondisi panas yang menyengat dan berkepanjangan, hanya mendapat istirahat dari satu atau dua kipas angin yang dipasang di ruang, semangat mereka mencapai puncaknya untuk belajar.

Di salah satu ruang, peserta mengikuti instruktur, memanggang kue-kue tren dengan bahan-bahan lokal, seperti kelor dan jagung. Salah satu peserta membuat kue di kelas yang diadakan oleh Pusat Efata Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (27/2/2024). Kementerian Sosial menyelenggarakan beberapa kelas, seperti pembuatan kopi, pembuatan kue, dan memasak makanan cepat saji, dari 26 Februari hingga 3 Maret 2024, untuk meningkatkan kemampuan orang rentan sehingga mereka bisa produktif. (ANTARA/Mecca Yumna) Salah satu peserta adalah Yati. Wanita dengan disabilitas telah menguasai beberapa keterampilan memanggang beberapa hari yang lalu, namun dia sudah penuh dengan ide-ide untuk bisnis barunya dengan mempersiapkan dan menjual nugget kelor. Dia percaya bahwa mereka mudah disiapkan, dan bahan-bahannya lebih mudah didapatkan, sehingga bisa menjadi tambahan yang menguntungkan untuk bisnis menenunnya.

MEMBACA  Daftar Pemeran dan Ringkasan LTNS, Drakor Komedi Romantis Pasutri Bermasalah yang Lucu

Di ruang lain, peserta belajar cara membuat makanan cepat saji dengan kelor sebagai salah satu bahan utamanya. Salah satu peserta adalah Yato dari Maumere, yang mengungkapkan melalui bahasa isyarat bahwa dia bekerja sebagai tukang batu.

Kepala Pusat Efata Kupang Tota Oceanna menyatakan bahwa pelatihan, yang diselenggarakan dari 26 Februari hingga 3 Maret 2024, diadakan sesuai dengan arahan menteri. Di antara kelas-kelas yang ditawarkan adalah pembuatan kopi, pembuatan kue, dan memasak makanan cepat saji, dengan jumlah peserta sebanyak 120 orang dari kabupaten dan kota di seluruh NTT, seperti Malaka, Sikka, Kota Kupang.

Kepala pusat sosial berharap pelatihan ini akan memberdayakan masyarakat, dan mereka bisa menjadi produktif, sehingga barang-barang mereka bisa dijual di Pasar Ramadan yang semakin dekat. Pengalaman ini juga akan mengajari mereka tentang pemasaran.

Seperti kata pepatah, “Roma tidak dibangun dalam sehari.” Namun, menurut kearifan lokal, perlahan namun pasti, melalui usaha yang gigih, tumpukan hasil bisa didapatkan. Tumpukan yang akan tumbuh menjadi gunung-gunung yang indah, tidak berbeda dengan lanskap alam NTT. Berita terkait: Tindakan pemerintah tanpa ragu-ragu berpusat pada kesejahteraan rakyat Berita terkait: Indonesia menargetkan peningkatan produksi beras untuk mengatasi lonjakan hargaEditor: Rahmad Nasution Hak cipta © ANTARA 2024