Senin, 19 Agustus 2024 – 00:20 WIB
Jakarta, VIVA – Pakar hukum tata negara yang juga Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menilai permainan demokrasi di Indonesia sudah jorok. Apa sebab?
Baca Juga :
Survei: Anies Unggul Lawan RK, Ahok dan Kaesang di Pilkada Jakarta
Ini terkait berita panas soal pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP warga untuk mendukung calon gubernur independen di Pilkada Jakarta 2024. Masalah ini pertama kali mencuat di media sosial X.
Beberapa warga menyadari bahwa KTP mereka digunakan sebagai pendukung pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana, meski mereka tidak pernah memberikan persetujuan.
Baca Juga :
Calon Wali Kota Termuda di Kota Batu Dapat Dukungan dari Relawan Projo
Mahfud MD menegaskan, bahwa pencalonan pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana harus dibatalkan, karena penggunaan data pribadi tanpa izin untuk kepentingan pribadi melanggar hukum dan norma etika.
Menurut Mahfud, penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan politik merupakan pelanggaran serius yang harus diproses secara hukum pidana.
Baca Juga :
Bantah Hasto, PKB Tegaskan Bersama Gerindra di Pilkada Jakarta
“Kalau mau jujur, mau objektif, itu harus dibatalkan dan dipidanakan, karena ada sekurang-kurangnya tiga undang-undang yang serius yang dilanggar,” jelas Mahfud, dikutip dari Youtube tvOne, Minggu, 18 Agustus 2024.
Mantan Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Komjen Dharma Pongrekun
Mahfud menjabarkan, bahwa pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana melanggar beberapa pasal yang melarang penggunaan dan penyebaran data pribadi tanpa izin sah dari pemiliknya.
“Satu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pasal 67 ayat 1,2, dan 3, melarang seseorang membuka data pribadi dengan cara melawan hukum, artinya tanpa izin dari siapa pun. Melarang memberitahu atau menyebarkan kepada seseorang,” kata Mahfud.
Selain itu, tindakan mereka juga dianggap melanggar UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Mahfud menegaskan bahwa ini merupakan pelanggaran berat yang membawa ancaman hukuman serius.
“Ada juga undang-undang ITE yang dilanggar, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, itu pelanggaran juga. Ancamannya berat tuh, mengambil data orang lain dan menyebarkannya tanpa izin,” tambahnya.
Dalam konteks hukum pidana, pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana juga berpotensi dikenakan pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jika pemilik KTP merasa nama baik mereka dicemarkan karena pencatutan data, maka dapat mengajukan tuntutan.
\”Pencemaran nama baik bisa dikenakan pasal KUHP, jika orang yang merasa dirugikan karena datanya dicuri ingin mengajukan tuntutan,\” ujar Mahfud.
Samson, Warga Gambir, Jakarta Pusat, melapor ke Polda Metro Jaya lantaran data diri dan KTP-nya dicatut untuk mendukung pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana pada Pilkada Jakarta 2024.
Mahfud juga menekankan bahwa kasus ini melibatkan pelanggaran hukum, sehingga polisi seharusnya segera bertindak tanpa perlu menunggu laporan resmi dari masyarakat.
“Kalau sifatnya pelanggaran, penegak hukum, polisi, harus langsung bertindak, tidak usah menunggu laporan,” tegasnya.
Sebagai penutup, Mahfud mengusulkan agar penegak hukum, terutama polisi, segera menangani aspek pidananya, sementara warga bisa mengajukan gugatan secara perdata. Selain itu, ia menekankan pentingnya lembaga seperti KPU dan Bawaslu untuk bertindak secara tegas dengan membatalkan pencalonan pasangan tersebut.
“Polisi ambil pidananya, rakyat ambil perdatanya, lalu hukum administrasi pidana. Hukum-hukum administrasi itu tuas Pemilu dan Bawaslu untuk membatalkan ini, karena ini permainan demokrasi sudah jorok,” tutup Mahfud.
Halaman Selanjutnya
Mahfud menjabarkan, bahwa pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana melanggar beberapa pasal yang melarang penggunaan dan penyebaran data pribadi tanpa izin sah dari pemiliknya.