Kajian budaya adalah suatu hal yang dilakukan untuk memahami dan mendefinisikan budaya sebagai sebuah proses pemaknaan (Arybowo, 2010). Kebudayaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang turun-temurun, tetapi juga sebagai interaksi sosial yang bersifat situasional. Eksistensi kebudayaan bergantung pada karakter kekuasaan dan interaksi yang dinamis.
Ketika berbicara tentang budaya, tidak bisa dipungkiri bahwa globalisasi menjadi faktor penting yang memengaruhi perkembangan kebudayaan. Era globalisasi ditandai dengan maraknya interaksi interkultural. Dalam menyikapi perbedaan kebudayaan, kita harus bijak dan memandang pihak lain sebagai individu atau kelompok yang harus dihargai dan dihormati.
Di Indonesia, realitas kebudayaan tampak tak sejalan dengan harapan. Tantangan yang kemudian muncul adalah krisis identitas. Krisis identitas adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh psikolog asal Jerman, Erik Erikson. Ia percaya bahwa pembentukan identitas adalah salah satu konflik terpenting yang dihadapi manusia. Menurut Erikson, krisis identitas adalah masa analisis dan eksplorasi intensif terhadap berbagai cara memandang diri sendiri (Cherry, 2023).
Dalam konteks budaya, krisis identitas adalah keadaan ketika seseorang merasa bingung, tidak yakin, atau kehilangan arah tentang siapa mereka dan di mana mereka berada dalam masyarakat karena dampak budaya mereka. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti globalisasi dan perubahan sosial.
Salah satu bentuk dari krisis identitas karena globalisasi adalah erosi budaya lokal. Globalisasi membawa pengaruh budaya asing yang kuat, misalnya penggunaan bahasa Inggris yang berlebihan. Kemampuan bahasa Inggris tentunya menjadi sebuah indikator yang penting di Indonesia karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional.
Namun, penggunaan bahasa Inggris yang berlebihan kian menjadi hal yang mengundang pro dan kontra di masyarakat, terutama di media sosial. Salah satu contohnya adalah media online seperti Folkative dan USS Feed yang menggunakan bahasa Inggris pada caption mereka untuk pemberitaan di Instagram. Banyak orang yang kemudian mempermasalahkan hal ini, namun banyak juga yang mengatakan bahwa media seperti Folkative dan USS Feed memang menyasar pasar luar negeri dalam memberitakan hal yang terjadi di Indonesia.
Contoh lain datang dari content creator di TikTok yang memakai bahasa Inggris dalam unggahan TikTok mereka. Ada orang-orang dalam komentar yang mempermasalahkan hal ini, namun ada juga yang menyatakan bahwa orang Indonesia seharusnya mengedukasi diri sendiri dan berusaha untuk belajar bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa Inggris yang berlebihan ini telah lama menjadi dilema, di mana kita sebagai orang Indonesia seolah-olah dituntut untuk memilih antara mempertahankan bahasa nasional atau menggantinya dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris. Padahal, kedua hal itu bisa dilakukan secara bersamaan. Misalnya, ketika membuat konten dalam bahasa Inggris, subtitle bahasa Indonesia juga ikut disertakan.
Modernisasi dan Urbanisasi
Perpindahan penduduk dari desa ke kota lain dapat membuat mereka cenderung melupakan budaya dan menciptakan perubahan pola hidup serta nilai-nilai masyarakat. Budaya luhur menjadi terkikis dan kearifan lokal perlahan hilang. Gaya hidup yang berbeda antara desa dan kota membuat orang beradaptasi dengan cepat.
Nilai gotong royong dan kekeluargaan yang selalu digaungkan terganti oleh individualisme. Budaya Indonesia memang sangat memesona, namun pesona tersebut terkadang tertutupi oleh dinamika politik dan pemerintahan yang semakin tak menentu dan literasi serta sumber daya manusia yang rendah. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa ada orang-orang Indonesia yang ingin pindah ke luar negeri. Karena hal ini, dampak yang mungkin mereka rasakan adalah kehilangan nilai-nilai budaya Indonesia.
Dominasi Budaya Populer
Globalisasi, digitalisasi, dan eksistensi media massa dewasa ini cenderung mempromosikan budaya populer (pop culture) dan menggeser budaya lokal. Namun di sisi lain, hal tersebut memang cara-cara yang digunakan untuk terus eksis dan tidak ‘ketinggalan zaman’. Munculnya fenomena FOMO (Fear of missing out) kemudian menjadi sebuah ‘panoptikon’.
Teori Panoptikon oleh Michel Foucault menyatakan bahwa orang dapat dikendalikan ketika mereka percaya bahwa mereka selalu diawasi meskipun tidak ada yang mengawasi (Cole & Tauches, 2023). Sama halnya dengan fenomena FOMO yang membuat kita seolah-olah diawasi dan diatur untuk terus mengikuti apa yang menjadi tren di media massa, khususnya media sosial.
Budaya populer Indonesia seperti film dan musik masih kurang diminati dan mayoritas masyarakat lebih menaruh minat pada budaya populer dari negara lain, seperti Amerika Serikat, Korea, dan Jepang. Film Hollywood, K-drama (Korean drama), K-pop (Korean pop), dan anime merupakan bentuk-bentuk budaya populer yang digandrungi banyak orang, terutama generasi muda di Indonesia.
Film Indonesia yang sering menawarkan genre horor merupakan daya tarik tersendiri bagi orang Indonesia karena dibumbui budaya dan agama yang terasa relate. Namun, beberapa film horor malah mencederai nilai agama yang ada. Salah satu film horor yang pernah dikecam adalah “Kiblat” yang disutradarai oleh Bobby Prasetyo. Film ini dianggap telah menistakan salat sebagai bentuk ibadah umat Islam. Contoh dari sektor film ini adalah satu dari banyak faktor yang membuat mayoritas orang lebih memilih menikmati budaya populer dari luar negeri.
Sebagai masyarakat Indonesia, kita tentunya beruntung karena memiliki kebudayaan yang beragam. Kebudayaan tersebut menjadi kebanggaan kita di tengah perkembangan zaman yang pesat. Namun, tampaknya kita sulit melestarikan budaya karena banyak faktor yang memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak.
Krisis identitas seperti erosi budaya lokal, modernisasi dan urbanisasi, serta dominasi budaya populer hanyalah sebagian kecil dari dampak besar yang kita rasakan sebagai orang Indonesia. Bukankah menjadi dilema ketika eksistensi kebudayaan kita tidak bersanding dengan sistem pemerintahan, politik, literasi, dan sumber daya manusia yang memadai?