Kerja sama dengan Kanada dalam mineral kritis akan membantu Indonesia memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia.
“Listrik kita saat ini 91 gigawatt dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 6 persen. Mengikuti target Presiden Prabowo untuk pertumbuhan ekonomi di masa depan sebesar 8 persen, kita membutuhkan tambahan 61 gigawatt untuk mendukung target ini,” ujarnya dalam pernyataannya yang dirilis pada hari Sabtu.
Sebuah nota kesepahaman (MoU) tentang mineral kritis telah ditandatangani antara Indonesia dan Kanada pada bulan Desember tahun ini.
Ia mencatat bahwa MoU mencakup beberapa area kerja strategis, termasuk implementasi standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), mengurangi emisi gas rumah kaca melalui teknologi bersih, dan memperkuat perdagangan dan investasi di sektor pertambangan.
Kolaborasi ini diharapkan dapat mendukung percepatan transisi energi dan pertumbuhan ekonomi kedua negara.
Menteri juga menekankan pentingnya kerja sama ini untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat di Indonesia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dunia saat ini menghadapi ancaman serius akibat pemanasan global yang semakin mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, telah berkomitmen untuk mencapai nol emisi bersih, dengan target global ditetapkan pada tahun 2050.
Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 915 juta ton CO2 pada tahun 2030, termasuk kontribusi sektor energi sebesar 358 juta ton.
Pada tahun 2023, Indonesia berhasil mengurangi emisi sebesar 128 juta ton.
Berita terkait: Indonesia menargetkan pertumbuhan 8 persen melalui hilirisasi batubara dan mineral
Berita terkait: MoU Indonesia-Kanada menargetkan optimalisasi transisi energi
Translator: Indra Arief Pribadi, Yashinta Difa
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2024