Kerja Sama Alutsista Indonesia-Korsel: Masa Depan Kapal Bekas

KABAR menggelisahkan datang dari dunia alutsista Tanah Air. Betapa tidak, di tengah gencarnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengakuisisi kapal perang termutakhir seperti offshore patrol vessel (OPV) kelas Thaon di Revel dan membangun berbagai jenis kapal perang -mulai dari fregat, OPV, hingga KCR- dengan melibatkan PT PAL dan sejumlah galangan swasta lokal, kementerian yang dipimpin presiden terpilih Prabowo Subianto tersebut ternyata masih bernafsu membeli kapal perang bekas.

Keputusan pembelian kapal bekas dari Korea Selatan (Korsel) itu diambil dalam rapat Komisi I DPR dengan Kemhan pada Kamis (6/6). Yang mengejutkan, kapal yang akan akuisisi tersebut hanya sebatas kapal perang jenis korvet, Kelas Pohang. Lebih mengagetkan, walaupun berstatus hibah, pemerintah masih harus menggelontorkan dana sebesar USD35 juta atau setara Rp569,97 miliar untuk perbaikan struktur, mesin, hingga modernisasi sistem manajemen tempur atau sewaco (sensor, weapon and command).

Rencananya, sumber dana akan dimasukkan dalam anggaran rencana strategis (renstra) Kemhan tahun 2025-2029. Apakah Indonesia benar-benar urgen membeli kapal bekas tersebut? Apakah korvet kelas Pohang mampu menghadirkan deterrent effect untuk mengamankan wilayah laut NKRI? Bila dilihat dari dinamika geopolitik di kawasan saat ini, rasa tidak ada latar belakang yang mengharuskan Kemhan mengambil keputusan drastis tersebut. Apalagi soal daya gentar, kapal perang sekelas korvet mustahil mampu mewujudkannya.

Karena itu, satu-satunya hipotesis yang layak dikemukakan adalah dominannya pertimbangan politik dalam keputusan tersebut? Pertanyaaan selanjutnya yang layak disampaikan adalah, apa urgensinya pembelian kapal dalam konteks hubungan kerja sama alutsista Indonesia atau lebih luas hubungan diplomatik dan pertahanan dengan Negeri Gingseng tersebut?

Latar belakangan hipotesis tersebut melibatkan dinamika kerja sama alutusista Indonesia-Korsel yang bisa disebut berada di titik nadir terendah. Indikasi ini bisa dilihat dari kontroversi yang menyertai proyek kerja sama KFX/IFX dan ketidakberlanjutan pembangunan kapal selam Kelas Chang Bogo Batch II. Kerja sama KFX/IFX misalnya, hingga memasuki Juni 2024 ini belum ada kabar terbaru tentang pembayaran kekurangan dari pihak Indonesia.

MEMBACA  Blusukan, TPM Ganjar-Mahfud Memperkenalkan Program dan Mendengarkan Pendapat Warga Jakarta

Seperti diketahui, dalam proyek kerja sama yang dimulai pada 2010 itu, Indonesia awalnya setuju untuk membayar 20% (1,7 triliun Won) dari total biaya pengembangan sebesar 8,1 triliun Won atau sekitar Rp121,35 triliun. Keseluruhan pendanaan digunakan untuk memproduksi 120 unit jet tempur untuk Korsel dan 48 jet tempur untuk Indonesia.

Sejauh ini pemerintah telah membayar sekitar 300 miliar won untuk proyek yang disebut KFX/IFX tersebut -belakangan oleh Korsel disebut KF-21 Boromae, namun kemudian tidak memenuhi tenggat waktu pembayaran. Namun di sisi lain, terhambatnya pembayaran juga terkait tidak terpenuhinya komitmen yang dituntut Indonesia dari pihak Korsel.

Seperti pernah disampaikan Sekjen Kemhan periode 2010-2013 Marsdya (Purn) Eris Heryanto mengungkapkan, komitmen dimaksud antara lain terkait keterlibatan sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak seperti diharapkan, adanya sejumlah teknologi kunci yang tidak diperbolehkan Amerika Serikat (AS) untuk diberikan pada Indonesia. Selain itu, Paman Sam juga juga tidak memberikan export license kepada Indonesia dalam bentuk LRU/komponen subsistem atau teknologi-teknologi yang lain.Padahal LRU dan teknologi-teknologi yang lain sudah mulai digunakan di prototipe (KF 21 Boromae).

Setelah melalui tarik ulur, panjang dan berbelit, pada Mei 2024 lalu Korsel mengisyaratkan menerima proposal Indonesia untuk mengurangi pembagian biaya untuk program jet tempur KF-21. Tentu ada prasyarat yang mengikutinya, yaitu negeri gingseng itu akan memberikan lebih sedikit transfer teknologi.

Berapa jumlah yang harus dibayarkan sejauh ini belum jelas. Namun Indonesia telah menawar membayar total 600 miliar won (USD442,3 juta) untuk proyek jet KF-21 pada tahun 2026, turun dari jumlah awal 1,6 triliun won. Defense Acquisition Program Administration (DAPA)Korsel berharap bisa menuntaskan keputusan dalam tinjauan komite paling cepat akhir Mei 2024 agar tidak menyebabkan penundaan dalam proyek pembangunan, yang dijadwalkan selesai pada tahun 2026.

MEMBACA  Nissan Berencana Menjual 1 Juta Kendaraan Tambahan dalam 3 Tahun ke Depan, Bertujuan Memotong Biaya EV

Special Strategic Partnership

Pada September 2023 lalu, hubungan diplomatik Indonesia-Korsel tepat menginjak 50 tahun. Walaupun terbilang cukup lama, hubungan antarkedua negara mengalami progresivitas terjadi pada 2017, ditandai kunjungan kenegaraan Presiden Moon Jae-in ke negeri ini pada 8-10 November.

Seperti tercantum dalam websitewww.kemlu.go.id, dalam kunjungan bertema “Republic of Korea-Republic of Indonesia Joint Vision Statement for Co-Prosperity and Peace”,Presiden Moon Jae-in dan koleganya Presiden Joko Widodo bersepakat meningkatkan status kemitraan strategic partnership menjadispecial strategic partnership.

Kemitraan baru berfokus kerja sama pada empat area, yakni pertahanan dan hubungan luar negeri, perdagangan bilateral dan pembangunan infrastruktur,people-to-people exchanges, serta kerja sama regional dan global. Penguatan hubungan dan kerja sama bilateral tepat dilakukan karena komplementaritas sumber daya dan keunggulan masing-masing negara. Di sisi lain, kemajuan ekonomi dan kerja sama politik kedua negara yang terjadi, mendorong peluang kerja sama di berbagai sektor semakin terbuka lebar.

Dalam bidang ekonomi misalnya, Korsel merupakan salah satu negara sumber investasi yang strategis. Indonesia menempati urutan ke-2 setelah Vietnam di antara 8 negara ASEAN (19.10%) dan ke-3 dari 91 negara tujuan investasi Korea di dunia (7.47%). Korsel juga merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.

Pun hubungan militer dan pertahanan kedua negara juga mengalami akselerasi. Momentum ditandai dengan kerja sama pengadaan alutsista dari industri pertahanan Korsel untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI. Akuisisi yang dilakukan Indonesia antara lain Panser Tarantula untuk TNI AD,SubmarineChangbogo Classuntuk TNI AL, dan pesawat latih temput T-50iGolden Eagleserta pesawat latih ringan KT-1B untuk TNI AU.

Istimewanya, belanja senjata tersebut di antaranya juga diikuti dengan transfer of technology (ToT), seperti kapal selam Chang Bogo dan Panser Tarantula. Sebelumnya, TNI AL juga membeli kapal landing platform doc (LPD) Kelas Banjarmasin, dengan skema sebagian kapal dibangun di galangan kapal nasional PT PAL Surabaya. Sebaliknya, Korsel membeli alutsita made in berupa pesawat CN-235 untuk digunakan olehRepublic of Korea Air Force(ROKAF) danKorean Coast Guard(KCG) sebagai bentuk imbal dagang.

MEMBACA  Kritik terhadap budaya kerja teknologi dihidupkan kembali oleh keluhan online eksekutif PR China