Senin, 24 November 2025 – 08:36 WIB
Jakarta, VIVA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja mengeluarkan fatwa terbaru tentang kebutuhan pokok. MUI menegaskan bahwa kebutuhan pokok seperti sembako sampai tanah dan bangunan tidak boleh dikenakan pajak.
Baca Juga :
Fatwa MUI: Bumi dan Bangunan yang Dihuni Tak Boleh Dikenakan Pajak Berulang
“Jadi, memungut pajak untuk barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah yang kita tinggali, itu tidak mencerminkan keadilan dan tujuan dari pajak itu sendiri,” ujar Ketua MUI Bidang Fatwa, Profesor Asrorun Niam Sholeh, dalam siaran persnya, dikutip Senin, 24 November 2025.
Ilustrasi Petugas kepolisian keliling membagikan sembako untuk warga
Baca Juga :
Ribuan Paket Sembako Diberikan untuk Warga dan Ojol di Sukoharjo
Fatwa tentang Pajak Berkeadilan ini ditetapkan dalam Forum Munas MUI yang berlangsung dari tanggal 20 sampai 23 November 2025 di Hotel Mercure, Jakarta.
“Fatwa ini dibuat sebagai tanggapan hukum Islam atas masalah sosial yang timbul karena kenaikan PBB yang dianggap tidak adil, sehingga bikin resah masyarakat. Fatwa ini diharapkan bisa jadi solusi untuk perbaikan aturan,” kata Niam.
Baca Juga :
Kasus Korupsi Pembayaran Pajak, Kejagung Akui Sudah Periksa Sejumlah Nama! Tapi…
MUI menjelaskan bahwa objek pajak seharusnya hanya dikenakan pada harta yang punya potensi untuk diproduktifkan dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
“Jadi, memungut pajak untuk sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah beserta tanah yang kita tempati, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” ucap Niam.
Pajak Berkeadilan
Ketentuan Hukum
1. Negara wajib dan bertanggung jawab untuk mengelola serta memanfaatkan semua kekayaan negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Apabila kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang punya kemampuan finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal, yaitu 85 gram emas.
b. Objek pajak hanya dikenakan pada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas.
d. Penetapan pajak harus berdasarkan prinsip keadilan.
e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah).
3. Pajak yang dibayar oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya dipercayakan kepada pemerintah (ulil amri), karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah, yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Halaman Selanjutnya
4. Barang-barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebani pajak secara berulang-ulang (double tax).