Kebijakan Likuiditas Sadewa, Tantangan Sektor Riil Mengintai

Jakarta (ANTARA) – Di tengah pertumbuhan yang belum sesuai harapan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah membuka keran likuiditas tunai.

Ini merupakan kebijakan yang perlu didukung dari sisi permintaan agar dana tidak hanya mengendap di neraca bank, tetapi justru memicu efek domino dalam perekonomian.

Menggantikan Sri Mulyani Indrawati, yang sering dianggap sebagai penjaga kredibilitas fiskal Indonesia di tiga pemerintahan, Sadewa telah mulai membentuk arah fiskal baru.

Pada hari kedua menjabat, ia menggambarkan pendekatannya memiliki gaya "koboi".

Dia mengadopsi strategi intermediasi keuangan dengan memobilisasi cadangan kas pemerintah yang menganggur di Bank Indonesia (BI) dan mentransfernya ke bank-bank BUMN (Himbara).

Selain memastikan kredit disalurkan secara produktif, keberhasilannya akan tergantung pada menjaga disiplin fiskal untuk keberlanjutan dan memastikan koordinasi fiskal-moneter untuk stabilitas.

Dalam rapat kerja pertamanya dengan Komisi XI DPR pada Rabu (10 September), Sadewa mengusulkan pemindahan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari total Rp425 triliun di BI ke lima bank Himbara.

Dia berargumen bahwa sistem keuangan telah "kering" karena mesin ekonomi tidak berjalan pada kapasitas penuh. Dengan memindahkan dana dari BI ke Himbara, likuiditas diharapkan mengalir ke sistem perbankan, menurunkan biaya pendanaan bank, dan memfasilitasi kredit ke sektor riil.

Sadewa ingin "agen" ekonomi, yaitu bank, pelaku usaha, pengusaha sektor riil, beroperasi secara optimal melalui saluran masing-masing.

Namun, dia mencatat bahwa likuiditas saja tidak bisa mendorong pertumbuhan. Meskipun injeksi dapat meningkatkan pasokan kredit, bank hanya akan meminjamkan jika permintaan agregat cukup terstimulasi.

Jika permintaan tetap lemah, perusahaan atau rumah tangga masih akan ragu-ragu untuk meminjam dari bank, membuat dana hanya menganggur di sistem perbankan. Tanpa keyakinan pada permintaan, bank cenderung hati-hati dalam menyalurkan kredit sehingga likuiditas tidak berubah menjadi pinjaman.

MEMBACA  Pemerintah meningkatkan dana untuk program peremajaan kelapa sawit

Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dipasangkan dengan pengungkit sisi permintaan di sektor riil, seperti mempercepat implementasi program prioritas pemerintah, dan stimulus ekonomi untuk masyarakat.

Stimulus tersebut mungkin termasuk mempercepat dan meningkatkan kualitas program prioritas seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, dan membangun tiga juta rumah, sehingga benar-benar menghasilkan efek pengganda dalam perekonomian.

Manfaat ekonomi tersebut dapat mencakup penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. Insentif juga diperlukan bagi pekerja dan bisnis yang terkena dampak kelambatan ekonomi, sehingga mereka dapat membantu mendorong permintaan agregat ke atas.

Pemerintah juga perlu cepat mencari solusi untuk diversifikasi ekspor agar bisnis dapat mempertahankan operasi di tengah eskalasi ekonomi global.

Paket insentif untuk memperkuat permintaan harus berjalan paralel dengan injeksi likuiditas agar pasokan memenuhi permintaan, menghasilkan manfaat ekonomi riil, bukan hanya lebih banyak uang yang beredar.

Koordinasi Fiskal-Moneter

Di sisi lain, kebijakan Sadewa mendapat aplaus dan perhatian setelah bertahun-tahun kebijakan fiskal yang konservatif. Namun, koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter harus dijaga agar tidak mengirimkan sinyal yang membingungkan ke pasar.

Mandas harus tetap jelas antara otoritas fiskal dan moneter.

Otoritas fiskal harus mendorong intermediasi melalui pengelolaan anggaran, sementara peran bank sentral tetap melindungi inflasi, stabilitas rupiah, dan suku bunga pasar uang.

Pada tingkat teknis, perlu ada saling pengertian ketika bank sentral harus mensterilkan likuiditas berlebih agar stabilitas ekonomi terjaga.

Literatur ekonomi di seluruh dunia juga menunjukkan betapa pentingnya koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter untuk menghindari sinyal yang bertentangan, terutama terkait operasi pelonggaran atau pengetatan likuiditas.

Dalam hal pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan dukungan yang diperlukan, tetapi juga memperingatkan bahwa bank harus menerapkan mitigasi risiko dalam penyaluran kredit.

MEMBACA  Dorong Investasi Turki di Sektor Manufaktur dan Rantai Pasok Indonesia

Pengawasan Perbankan

Suara dari parlemen juga semakin keras untuk memasang pagar risiko di sekitar kebijakan likuiditas ini.

Ketua Komisi XI DPR yang mengawasi keuangan dan perbankan, Misbakhun, menekankan perlunya koordinasi yang erat antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia agar tujuan fiskal dan moneter selaras.

Langkah ini diperlukan untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah, sambil memastikan kredit benar-benar sampai ke sektor riil.

Dia mengatakan penempatan likuiditas tidak boleh berhenti hanya pada bank Himbara, tetapi diperluas ke bank swasta yang sehat, diarahkan ke sektor padat karya.

Pengawasan atas penyaluran kredit sangat penting agar tidak menjadi "kredit macet".

Indonesia mengambil pelajaran dari upaya pemulihan ekonomi COVID-19, yang melihat injeksi likuiditas besar tetapi kurang berdampak pada sektor riil.

Negara harus menghindari mengulangi kesalahan masa lalu. Kali ini, likuiditas harus diikat dengan stimulus sektor riil, dengan aturan bahwa dana tidak boleh digunakan untuk membeli surat berharga negara (SBN).

Pemerintah, bekerja sama dengan BI dan OJK, perlu menetapkan indikator pertumbuhan kredit yang terukur per sektor, dari UMKM, manufaktur padat karya, pertanian, dan perumahan.

Mereka akan menjadi tolok ukur untuk memutuskan apakah kebijakan likuiditas harus diintensifkan atau disesuaikan.

Jika injeksi likuiditas diterjemahkan menjadi kapasitas produksi baru, peningkatan pendapatan, dan perluasan perdagangan, rakyat harus merasakannya di pasar, warung kecil, pasar tenaga kerja, dan output pabrik.

Copyright © ANTARA 2025