Kebijakan Fiskal Baru Indonesia: Pertumbuhan Dulu, Pungutan Kemudian

Jakarta (ANTARA) – Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah Indonesia telah menetapkan peningkatan rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai pilar utama agenda reformasi fiskal.

Meskipun menghadapi tantangan ekonomi sepanjang 2025, pemerintah melihat peluang untuk memperkuat fundamental penerimaan negara melalui strategi yang lebih terukur dan berkelanjutan untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah menetapkan target rasio pajak terhadap PDB yang lebih realistis tanpa mengurangi ambisi untuk memperkuat kapasitas fiskal. Tahun ini, pemerintah menargetkan rasio 10,03 persen, sejalan dengan proyeksi konsolidasi fiskal dan pemulihan ekonomi.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia berhasil mempertahankan rasio pajaknya di sekitar angka 10 persen, yaitu 10,38 persen pada 2022, 10,31 persen pada 2023, dan 10,08 persen pada 2024.

Hingga kuartal ketiga 2025, rasio tersebut berada di angka 8,88 persen menurut definisi sempit dan 9,82 persen menurut definisi luas, yang mencakup penerimaan pajak daerah.

Meskipun target 2025 saat ini tampak sulit dicapai, pemerintah menegaskan kembali komitmennya untuk terus meningkatkan rasio tersebut secara bertahap di tahun-tahun mendatang.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menekankan tekad pemerintah untuk menjalankan kebijakan fiskal jangka panjang yang bertujuan memperluas ruang fiskal, dengan tujuan akhir meningkatkan kesejahteraan publik.

Apa yang ditunjukkan angka 2025

Indonesia telah mengumpulkan sekitar Rp2.113,3 triliun (US$1 = Rp16.773) dalam penerimaan negara hingga akhir Oktober 2025, setara dengan 73,7 persen dari target APBN tahun ini. Meski kinerja cukup solid, penerimaan masih di bawah level dua tahun sebelumnya saat harga komoditas lebih tinggi.

Penerimaan pajak bersih per 31 Oktober mencapai Rp1.459,03 triliun, turun 3,9 persen secara tahunan dan setara dengan 70,2 persen dari target. Penerimaan kotor tumbuh 1,8 persen, mengindikasikan pengembalian pajak (restitusi) yang lebih tinggi, bukan lemahnya pemungutan.

MEMBACA  Agar Kinerja Lebih Optimal, 60 Polisi Gemuk di Trenggalek Ikuti Program Diet

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto melaporkan lonjakan restitusi pajak sebesar 36,4 persen hingga Oktober 2025, didorong terutama oleh pengembalian pajak penghasilan badan dan pajak pertambahan nilai (PPN).

Berita terkait: Indonesia’s Q3 growth shows effective fiscal management: minister

Pertumbuhan sebelum pungutan baru

Untuk mendukung agenda rasio pajak terhadap PDB Presiden Prabowo, Menteri Keuangan Purbaya memilih pendekatan yang berorientasi pada pertumbuhan. Daripada segera memperluas basis pajak, pemerintah memprioritaskan pertumbuhan ekonomi untuk memperkuat kapasitas wajib pajak secara organik.

Dia meyakinkan publik bahwa pemerintah akan menahan diri untuk tidak mengenakan pungutan baru sampai pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen. Sejak pemulihan pasca-pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam kisaran 5,03 hingga 5,31 persen.

Pendekatan ini mendapat dukungan dari Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), yang menyatakan bahwa mendorong pertumbuhan untuk memperkuat basis pajak yang ada adalah strategi yang paling tepat di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak meningkatkan pelacakan aset bagi wajib pajak dengan kasus tunggakan yang telah diputus untuk memastikan pajak yang terlambat dibayar.

Berita terkait: Indonesia to delay new taxes until economy hits 6 percent growth

Reformasi struktural di luar pertumbuhan

Para ekonom mengingatkan bahwa pertumbuhan saja mungkin tidak cukup untuk meningkatkan rasio pajak terhadap PDB Indonesia secara berkelanjutan tanpa reformasi struktural yang lebih mendalam.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mendorong pemerintah untuk mempercepat formalisasi ekonomi dengan membawa aktivitas informal ke dalam jaringan pajak.

Dia menekankan bahwa sebagian besar aktivitas ekonomi informal di Indonesia masih berada di luar basis pajak dan akan tetap begitu tanpa formalisasi.

MEMBACA  Presiden Perancis Emmanuel Macron mengumumkan pemerintahan sayap kanan baru

Untuk mengatasi ini, Manilet mengatakan pemerintah harus menyederhanakan prosedur perizinan, mendorong digitalisasi transaksi, dan mendorong UMKM untuk melakukan formalisasi melalui insentif yang tepat sasaran.

Selain memperluas basis pajak, dia juga menganjurkan industrialisasi yang lebih dalam dan ekstensifikasi pajak. Industrialisasi, katanya, akan secara struktural mengangkat rasio pajak terhadap PDB dengan meningkatkan kontribusi manufaktur melalui pajak penghasilan badan dan PPN.

Tanpa memperluas aktivitas industri di luar ekspor komoditas mentah dan proyek-proyek yang sarat insentif, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak akan tetap terbatas, tambahnya, dengan mencatat bahwa peningkatan produktivitas dan investasi yang lebih besar sangat penting.

Tentang ekstensifikasi pajak, Manilet menggambarkannya sebagai cara untuk menghasilkan sumber pendapatan baru tanpa merusak pertumbuhan, dengan mengatakan langkah-langkah yang tepat sasaran dapat memberikan peningkatan yang lebih cepat dalam rasio pajak terhadap PDB.

Kementerian Keuangan telah merumuskan pendekatan-pendekatan ini dalam Rencana Strategis 2025–2029, yang mencakup integrasi basis data wajib pajak di seluruh kementerian dan lembaga serta memanfaatkan sumber pendapatan baru.

Inti dari reformasi ini adalah peluncuran penuh Sistem Administrasi Perpajakan Inti (Core Tax Administration System) pada 2025, sebuah pembaruan digital yang mengotomatisasi proses, termasuk menghubungkan Nomor Induk Kependudukan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak, untuk mengurangi data silos dan meningkatkan kepatuhan sukarela melalui portal wajib pajak yang ramah pengguna.

Para ekonom memproyeksikan bahwa meski Indonesia menghadapi tantangan global dan domestik yang meningkat, kebijakan yang prudent dan terukur akan sangat penting untuk mengelola risiko dan memenuhi komitmen pemerintah untuk memperkuat kapasitas fiskal bagi pembangunan nasional.

Berita terkait: No cigarette excise hike planned for 2026: Finance Minister
Berita terkait: Govt delays PPh 22 collection on marketplaces to sustain buying power

MEMBACA  Persib Harus Tetap Waspada

Penerjemah: Imamatul Silfia, Tegar Nurfitra
Editor: Anton Santoso
Hak Cipta © ANTARA 2025

Tinggalkan komentar