Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyoroti pentingnya kebijakan afirmatif dalam mengurangi ketimpangan akses pendidikan berkualitas.
“Yang kita butuhkan adalah kebijakan afirmatif sehingga sekolah dan kelompok yang kurang beruntung dapat mengalami kemajuan pesat tanpa menghambat kemajuan sekolah lain secara nasional,” kata Kepala Badan Standar Pendidikan, Kurikulum, dan Asesmen (BSKAP) kementerian, Anindito Aditomo.
Aditomo menyampaikan pernyataan tersebut dalam Forum Transformasi Pendidikan dan Pembelajaran (FELT) di Jakarta pada hari Senin.
Beliau mencatat bahwa pendidikan dapat menimbulkan atau bahkan memperburuk ketimpangan dalam masyarakat dengan tidak mempersiapkan anak-anak dari kelas menengah ke bawah untuk meraih manfaat dari pendidikan.
Beliau menilai bahwa jalan tengah untuk mengantisipasi kondisi ini adalah dengan menyiapkan kebijakan pendidikan afirmatif yang memprioritaskan prestasi siswa sebagai patokan dan bukan latar belakang sosioekonomi keluarga siswa dalam lingkungan sekolah.
Dengan cara ini, sistem pendidikan berkontribusi sebagai penyeimbang atas ketimpangan.
Satu bentuk kebijakan afirmatif adalah sistem penerimaan peserta didik berbasis zona sekolah, yang mulai diberlakukan pada tahun 2017. Beliau menilai bahwa metode ini berhasil dalam mendesegregasikan jalur penerimaan siswa baru yang sebelumnya hanya difokuskan pada sekolah-sekolah terkemuka.
“Sebelumnya, sebagian besar siswa dengan kondisi ekonomi baik mengejar sekolah-sekolah terkemuka, sehingga menyisakan siswa yang tidak berkecukupan untuk masuk ke sekolah-sekolah biasa,” jelasnya.
Sementara itu, beliau menyatakan bahwa kebijakan zonasi memberikan kesempatan bagi mereka yang tinggal di dekat sekolah bergengsi untuk masuk ke sana.
Beliau menilai bahwa kebijakan zonasi menyajikan keberagaman latar belakang sosioekonomi sekolah, yang pada akhirnya akan membuat karakteristik mereka serupa dan menciptakan sekolah-sekolah bergengsi baru.
Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa kontribusi kondisi sosioekonomi terhadap prestasi dalam Program for International Student Assessment (PISA) juga mulai menurun perlahan dibandingkan dengan tahun 2015. Oleh karena itu, latar belakang siswa menjadi prediktor prestasi yang lebih lemah.
Berita terkait: Kementerian mempercepat penggunaan AI untuk memperluas akses ke pendidikan tinggi
Berita terkait: Kementerian berupaya memastikan anak-anak Papua memiliki akses pendidikan
Berita terkait: Wakil Ketua MPR meminta akses pendidikan yang sama
Penerjemah: Hana Dewi, Raka Adji
Editor: Azis Kurmala
Hak cipta © ANTARA 2024