Janji Pembayaran Sebelum Lebaran, Anggota DPRD OKU Sumsel Minta Bayaran kepada Kepala Dinas PUPR

Minggu, 16 Maret 2025 – 22:36 WIB

Jakarta, VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.

Dari enam tersangka, ada empat sebagai penerima suap yakni Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU Nopriansyah (NOV), Ketua Komisi III DPRD OKU M. Fahrudin (MFR), Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah (FJ) dan Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati (UH). Kemudian, dua tersangka pemberi suap yakni pihak swasta yaitu M. Fauzi alias Pablo (MFZ) dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS).

Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan awal mula kasus dugaan rasuah ini. Dia menyebut, hal itu berawal saat DPRD Oku mau mengesahkan Rencana APBD tahun 2025. Menurut dia, anggaran bisa saja disahkan dengan menaikkan jumlahnya. Meski demikian, anggota DPRD meminta jatah atau fee dari dana pokok pikir atau pokir yang hendak disahkan. DPRD OKU meminta fee sebesar 20 persen dari proyek yang direncanakan.

“Kemudian disepakati bahwa jatah pokir tersebut diubah menjadi proyek fisik di Dinas Pekerjaan Umum sebesar Rp45 miliar,” kata Setyo di KPK, Minggu 16 Maret 2025.

Barang bukti uang miliaran yang disita KPK saat OTT di Kabupaten OKU, Sumatra Selatan

Setelah itu, anggaran daerah disahkan dengan nilai dua kali lipat. Lantas, Kepala Dinas PUPR OKU, N alias Nopriansyah yang mulai bergerak melakukan pemufakatan jahat. Nopriansyah pun mulai bergerak dan mengelola 9 proyek jatah DPRD melalui e-katalog. Sembilan proyek tersebut pun ditawarkan ke MFZ dan ASS selaku pihak swasta. Nopriansyah meminta 22 persen kepada MFZ dan ASS jika 9 proyek yang ditawarkan bisa gol. Komitmen fee sebesar 22% yaitu 2% untuk Dinas PUPR. Sementara, 20% untuk DPRD. “Saudara N kemudian mengkondisikan pihak swasta yang mengerjakan dan PPK untuk menggunakan CV yang ada di Lampung Tengah. Kemudian penyedia dan PPK melakukan penandatanganan kontrak di Lampung Tengah,” jelas Setyo. Lantas, setelah semuanya dijanjikan Nopriansyah, anggota DPRD OKU yang diwakili FJ, MFR dan UH menagih janji fee proyek. Nopriansyah janji bakal mencairkan fee atau jatah proyek ke anggota DPRD sebelum Lebaran Hari Raya Idul Fitri 2025. “Kemudian dijanjikan oleh saudara N akan diberikan sebelum Hari Raya Idul Fitri melalui pencairan Uang Muka 9 proyek yang sudah direncanakan sebelumnya,” kata Setyo. Lalu, pada tanggal 11-12 Maret 2025, MFZ mengurus pencairan uang muka atas beberapa proyek. Kemudian, tanggal 13 Maret 2025 sekitar pukul 14.00, MFZ mencairkan uang muka di Bank Sumselbabel. “Pemda OKU saat itu mengalami permasalahan cash flow, karena uang yang ada diprioritaskan untuk membayar THR, TPP dan penghasilan perangkat daerah. Meskipun demikian, uang muka untuk proyek tetap dicairkan,” kata Setyo. Lebih jauh, uang komitmen fee akhirnya diserahkan MFZ sebanyak Rp2,2 miliar dan dari ASS sebanyak Rp 1,5 miliar kepada Nopriansyah. Uang tersebut diberikan pada 13 Maret 2025. Atas pemufakatan jahat itu, KPK pun melakukan operasi senyap atau OTT kepada Nopriansyah dan A selaku PNS Dinas Perkim Pemkab OKU. Kemudian, penyelidik KPK mendatangi rumah N dan A. Penyelidik menemukan serta mengamankan uang sebesar Rp2,6 miliar. Uang itu merupakan komitmen fee untuk DPRD yang diberikan oleh MFZ dan ASS. “Kemudian Tim penyelidik secara simultan juga mengamankan Sdr. MFZ dan Sdr. ASS di rumahnya, dan Sdr. FJ, MFR, UH di kediaman masing-masing. Selain itu, tim penyelidik juga mengamankan pihak lainnya yaitu Sdr. A dan Sdr. S,” tuturnya. KPK langsung menahan enam tersangka itu di Rutan Cabang KPK gedung C1 dan gedung merah putih KPK. Setyo menyebut, untuk empat tersangka penerima suap kasus dugaan rasuah di Dinas PUPR OKU dijerat pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf f dan Pasal 12B, Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi bagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001, tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Selanjutnya, untuk pihak swasta selaku pemberi suap diduga melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi. “Jadi, ada 2 klaster. Ada pihak penerima dan pihak pemberi.”

MEMBACA  BSSN Indonesia membentuk satuan tugas untuk Forum Air Dunia ke-10

Tinggalkan komentar