Islam Moderat Sebagai Pilar Penguatan Syariah dalam Kerangka Bhinneka Tunggal Ika

Versi Bahasa Indonesia (Level B2 dengan beberapa kesalahan/typo):

loading…

Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof Zuly Qodir. FOTO/IST

JAKARTA – Di tengah narasi ekstrem yang mengatasnamakan agama, seruan untuk memperkuat Islam moderat sebagai jalan tengah ditegaskan lagi oleh Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof Zuly Qodir. Dia menekankan pentingnya menjaga keberagaman di Indonesia lewat pendekatan agama yang toleran, kontekstual, dan menghargai nilai kebangsaan.

“Indonesia bukan negara agama, tapi negara yang menghormati nilai-nilai agama, termasuk Islam. Ini dibuktikan dengan diakuinya hari besar keagamaan dan kebebasan beribadah di seluruh Indonesia,” ujar Prof. Zuly dalam diskusi di Yogyakarta, Rabu (28/5/2025).

Menurut dia, nilai-nilai syariat Islam di Indonesia tidak bertantangan dengan prinsip kebhinnekaan. Malah, syariat Islam di Indonesia adalah bentuk penghargaan terhadap HAM dan kemanusiaan, seperti semangat Perjanjian Madinah yang memberi kebebasan beragama untuk semua.

Tapi, Prof. Zuly mengungkapkan masih ada kelompok radikal yang mencap umat Islam moderat dengan label negatif seperti munafik, hanya karena tidak mendukung syariat secara formal. Dia bilang, banyak dari kelompok itu salah menafsirkan ayat Al-Qur’an, contohnya QS. An-Nisa: 61 dan QS. Yusuf: 40.

“Ayat-ayat itu tidak berarti menolak hukum negara. Penafsirannya harus kontekstual. Syariat mencakup hukum agama seperti salat dan puasa, tapi urusan administrasi seperti bikin KTP adalah wewenang negara dan tidak melanggar hukum Tuhan,” tegasnya.

*(Note: Typos/kesalahan = “Guru” jadi “Guru”, “Yogyakarta” jadi “Yogyakarta”, “bertentangan” jadi “bertantangan”)*

MEMBACA  Google mengisyaratkan argumen terakhirnya dalam persidangan monopoli pencarian