Lumajang, Jawa Timur (ANTARA) – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dikenal memenuhi kebutuhan gizi pelajar, ibu hamil, dan ibu menyusui, juga berpotensi mengubah limbah makanan – yang sering dianggap tidak berguna – menjadi sumber daya berharga.
Anak-anak muda di Lumajang, seperti Asriafi Ath Thoriq, melihat limbah makanan MBG sebagai peluang untuk inovasi, kewirausahaan, dan kontribusi bagi lingkungan.
Program MBG telah dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang melalui dua dapur umum di Kecamatan Pasrujambe dan Klakah, yang melayani 3.750 penerima manfaat.
Bupati Lumajang, Indah Amperawati, memandang program makanan gratis ini sebagai investasi jangka panjang yang manfaatnya jauh melampaui sekadar menyediakan makan siang. Anak-anak di daerah pedesaan kini memiliki akses yang setara ke gizi seimbang, memastikan mereka tidak tertinggal dibandingkan dengan anak-anak di kota besar.
“Program MBG tidak hanya mengisi perut mereka tetapi juga mengajarkan kedisiplinan, mendorong kebiasaan makan sehat, dan memungkinkan keluarga untuk lebih baik dalam mengelola pengeluaran sehari-hari,” kata Amperawati.
Manfaat program MBG meluas keluar dari ruang kelas, karena setiap hidangan mendukung mata pencaharian lokal. Setiap Unit Layanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum MBG mempekerjakan setidaknya 50 pekerja, termasuk ahli gizi, koki, supir, dan petugas kebersihan.
Pada tingkat yang lebih luas, MBG mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan memanfaatkan produk pertanian lokal, desa-desa di Lumajang bertindak tidak hanya sebagai penerima manfaat tetapi juga sebagai produsen, membantu menjaga pasokan pangan di masa depan sebagai bagian dari investasi jangka panjang.
Menurut Asriafi, limbah yang dihasilkan dari program MBG dapat diubah menjadi eco-enzyme, yaitu pembersih rumah tangga dan pertanian yang berkelanjutan.
Eco-enzyme dapat diubah menjadi disinfektan, sabun, pupuk cair, dan bahkan pakan maggot untuk peternakan. Ini memberikan nilai ekonomi baru bagi limbah MBG sekaligus menciptakan peluang pendapatan bagi pemuda setempat.
Ia percaya bahwa kunci dari pengolahan limbah yang efektif terletak pada kesadaran dan kreativitas di kalangan anak muda.
“Limbah makanan harus dilihat sebagai aset, bukan masalah. Dengan inovasi dan bimbingan, kita dapat menciptakan produk ramah lingkungan sambil mendukung perekonomian lokal,” kata Asriafi, penerima penghargaan Kalpataru dan Lencana Inovasi Desa dari Kementerian Desa.
Dia menambahkan bahwa aktivitas pengolahan limbah juga membawa nilai edukasi, dengan membantu anak muda menumbuhkan tanggung jawab terhadap lingkungan, manajemen sumber daya, dan menumbuhkan semangat kewirausahaan sejak dini.
Lebih dari itu, eco-enzyme bukan sekadar bisnis – mereka melambangkan kesadaran kolektif dalam mengubah limbah menjadi produk berguna, menjaga kebersihan lingkungan, dan merangsang perekonomian lokal.
Namun, tidak semua dapur MBG belum mampu mengolah limbah makanan menjadi eco-enzyme. Beberapa dapur umum menyumbangkan sisa makanan kepada tetangga untuk pakan ternak.
“Kami ingin generasi muda menyadari bahwa setiap bahan makanan memiliki potensi. Limbah makanan bisa diubah jadi eco-enzyme, pupuk, atau pakan maggot. Ini adalah peluang bisnis dan kontribusi untuk bumi,” kata Asriafi.
Ia berharap inisiatifnya akan menginspirasi replikasi di daerah-daerah lain.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, komunitas pemuda, dan aktivis inovasi, limbah makanan dapat menjadi sumber daya ekonomi sekaligus alat edukasi untuk pelestarian lingkungan.
Asriafi yakin bahwa eco-enzyme memiliki potensi pasar yang kuat. Satu liter dapat dijual dengan harga yang kompetitif, sementara produk turunannya seperti pupuk cair dan pakan maggot menarik minat petani dan usaha kecil.
Inisiatif ini juga memupuk semangat kewirausahaan hijau pada generasi muda dengan mengajarkan mereka mengelola bisnis sambil juga melindungi lingkungan.
Eco-enzyme mewujudkan kreativitas dalam pengelolaan limbah dan menawarkan solusi praktis yang berkelanjutan.
Asriafi, yang juga mendirikan Waroeng Domba 99 dan Rumah Muda Berdaya, mendorong anak muda di Lumajang untuk mengubah limbah makanan menjadi usaha yang menguntungkan.
Kompos dan Pupuk Cair
Gagasan serupa sedang dikembangkan oleh petani muda dan aktivis lingkungan Dzaki Fahruddin. Dia mengumpulkan limbah makanan dari dapur umum MBG di SPPG Yosowilangun dan mengolahnya menjadi eco-enzyme, yang kemudian diubah lagi menjadi kompos dan pupuk cair.
Selain mengurangi limbah, produk-produk ini menguntungkan pertanian lokal. Dzaki juga mengembangkan bahan-bahan inovatif bernilai tinggi lain yang berasal dari limbah.
Dia menjelaskan bahwa memproduksi eco-enzyme itu sederhana tetapi membutuhkan konsistensi dan kedisiplinan.
“Limbah makanan dipotong kecil-kecil, dicampur dengan gula merah dan air, lalu difermentasi selama tiga bulan untuk menghasilkan eco-enzyme yang bisa digunakan,” ujarnya.
Menurutnya, pengolahan limbah makanan bukan sekadar inovasi individu tetapi sebuah gerakan kolektif yang dapat menginspirasi desa lain untuk mengelola limbah, mengurangi polusi, dan menghasilkan peluang ekonomi baru.
Inisiatif Dzaki menunjukkan bahwa inovasi kecil dapat membawa dampak besar, mengubah limbah MBG dari sampah menjadi modal untuk masa depan yang lebih hijau, kreatif, dan mandiri.
Limbah MBG juga dapat diubah menjadi pupuk cair. Awalnya, beberapa petani ragu untuk menggunakannya, tetapi setelah menyaksikan keefektifannya – menghasilkan lahan yang lebih subur dibandingkan dengan pupuk konvensional – mereka menjadi antusias.
Pupuk cair itu mendukung pertumbuhan tanaman yang lebih sehat dan membantu mengurangi biaya pertanian.
Kesuksesan para inovator muda ini dalam mengubah limbah menjadi bisnis berkelanjutan patut diacungi jempol, karena mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan lingkungan.