Jakarta (ANTARA) – Indonesia sedang mempromosikan pasokan kredit karbon dari solusi berbasis alam, seperti emisi yang disimpan di ekosistem gambut, menurut Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono.
Selama acara “Indonesia Climate Policy Outlook 2025” yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta pada hari Kamis, dia menyatakan bahwa Indonesia bergabung dengan jaringan perdagangan karbon global dengan meluncurkan transaksi perdagangan karbon internasional di Bursa Efek Indonesia pada bulan Januari.
Namun, dia mengakui bahwa kegiatan perdagangan karbon belum mencapai tingkat optimal.
“Mungkin pasar sedang mencari solusi berbasis alam. Bukan hanya karena mereka dapat diperbaharui, tetapi harganya mungkin juga lebih kompetitif dan dapat dipasarkan. Jadi, sekarang kami mencari pasokan sebanyak mungkin dari solusi berbasis alam, termasuk lahan gambut,” kata Hendropriyono.
Perdagangan karbon internasional akan difasilitasi dengan mengoptimalkan Sistem Registrasi Nasional (SRN) dan mempersiapkan infrastruktur yang diperlukan serta instrumen terkait.
“Tapi saya rasa ini bukan hanya masalah pasokan tetapi juga minat terhadap karbon itu sendiri,” tambah Hendropriyono.
Dia mengungkapkan bahwa masyarakat internasional khawatir tentang pengakuan lembaga sertifikasi, yang mendorong pemerintah untuk mendorong permintaan dengan mengejar perjanjian pengakuan saling (MRAs) dengan berbagai pihak.
Hingga saat ini, Indonesia telah menandatangani MRA dengan Jepang, yang diluncurkan tahun lalu pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) di Azerbaijan.
Berita terkait: Indonesia melihat miliaran keuntungan restorasi gambut, mangrove
Berita terkait: Indonesia mengembangkan mekanisme perdagangan karbon untuk sektor FOLU
Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Anton Santoso
Hak cipta © ANTARA 2025