Indonesia dan Filipina melakukan patroli bersama di perbatasan maritim.

Jakarta (ANTARA) – Angkatan Laut Indonesia dan Filipina telah melakukan patroli bersama di perbatasan maritim mereka di perairan Sulawesi dan Mindanao untuk memperkuat kemampuan mereka dalam menghadapi ancaman perompakan dan terorisme, kata juru bicara angkatan laut Indonesia.

Upaya bersama ini dilakukan pada Kamis, 27 Juni, selama fase kedua 38th Coordinated Patrol-Philippines-Indonesia (Corpat Philindo), kata juru bicara Komando Armada II Kolonel Widyo Sasongko pada Jumat.

Angkatan Laut Indonesia (TNI-AL) mengerahkan KRI Kakap-811, sedangkan Angkatan Laut Filipina mengirimkan korvet kelas Jacinto, BRP Artemio Ricarte (PS-37), dan Pesawat PN NV394.

Patroli bersama ini juga bertujuan untuk meningkatkan interoperabilitas, kata Sasongko.

Kedua kapal terlibat dalam beberapa latihan, termasuk Manuver (Manex), Transit (Passex), dan Formasi untuk PhotoEx. Mereka mengakhiri latihan dengan salam dan melanjutkan patroli di dalam perairan wilayah masing-masing.

Indonesia dan Filipina berbagi perbatasan maritim di perairan Sulawesi dan Sulu yang sering digunakan oleh perompak dan anggota Abu Sayyaf Group (ASG) untuk penyelundupan barang dan perdagangan manusia.

Karena ancaman lintas batas ini terhadap keamanan maritim, TNI-AL dan Angkatan Laut Filipina melakukan patroli bersama setiap tahun dalam Program Corpat Philindo, kata Sasongko.

Corpat Philindo sendiri secara rutin melakukan pelaksanaan Perjanjian Wilayah Penyeberangan Batas (BCA) kedua negara tahun 1975, tambahnya.

Sebagaimana dilaporkan sebelumnya, kelompok Abu Sayyaf yang terkenal menculik delapan WNI yang bekerja untuk sebuah kapal penangkap ikan di perairan Tambisan Tungku Lahad Dato, Malaysia, pada 16 Januari 2020.

Tiga dari delapan sandera, yang diidentifikasi sebagai Abdul Latif (37), Daeng Akbal (20), dan Pian bin Janiru (36), dibebaskan bersama dengan kapal penangkap ikan kayu, sementara lima lainnya tetap berada di bawah tahanan kelompok teroris ini.

MEMBACA  Kimia Farma Apotek Membantu Proses Penyelidikan dan Transparan dalam Penyerahan Semua Data

Sandera tersebut diidentifikasi sebagai Arsyad bin Dahlan (42), Arizal Kastamiran (29), La Baa (32), Riswanto bin Hayono (27), dan Edi bin Lawalopo (53).

Para penculik kemudian menuntut 30 juta peso (sekitar 4,4 juta dolar AS) sebagai tebusan untuk pembebasan lima WNI.

Warga negara Indonesia ini diculik tidak jauh dari tempat di mana tiga WNI diculik di perairan Tambisan, Tungku Lahad Datu, Malaysia, pada 23 September 2019.

Kelompok teroris bersenjata ini telah berkali-kali menyandera warga negara Indonesia. Dari tahun 2016 hingga November 2018 saja, 34 warga negara Indonesia telah disandera di Filipina selatan.

Berita terkait: Indonesia, Filipina meningkatkan kerjasama sumber daya manusia
Berita terkait: Indonesia berkoordinasi dengan Filipina untuk ekstradisi Johann Gregor

Penerjemah: Genta TM, Rahmad Nasution
Editor: Anton Santoso
Hak cipta © ANTARA 2024