Etanol: Penggerak Masa Depan Bahan Bakar Hijau Indonesia

Jakarta (ANTARA) –

Bayangkan betapa sulitnya—bahkan hampir mustahil—untuk meyakinkan pesaing kamu buat membeli produkmu dan menjualnya lagi ke pelanggan setia mereka? Sekarang bayangkan perjanjian itu diumumin ke publik.

Sulit dibayangkan? Lihat aja kejadian terbaru yang melibatkan raksasa minyak dan gas Indonesia, Pertamina, dan operator SPBU swasta.

Akhir September lalu, PT Vivo Energy Indonesia tandatangan perjanjian dengan Pertamina Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina, untuk beli 100.000 barel bahan bakar dasar yang diimpor oleh perusahaan BUMN itu.

Kesepakatan ini bertujuan untuk mengatasi kelangkaan BBM yang berlangsung di SPBU swasta—masalah yang coba diatasi oleh Kementerian ESDM dengan mendorong pengecer swasta buat kerja sama dengan Pertamina.

Tapi, dalam rapat dengan Komisi VII DPR awal Oktober, terungkap bahwa Vivo mundur dari kesepakatan, dengan alasan kandungan etanol 3,5% dalam bahan bakar impor tersebut.

Batalnya kesepakatan BBM yang jadi sorotan ini langsung jadi berita utama dan memicu debat luas di media sosial. Banyak dari diskusi publik fokus pada klaim bahwa bahan bakar dasar itu “terkontaminasi” etanol.

Sebenernya, pencampuran etanol 3,5% ke dalam bahan bakar dasar tidak melanggar peraturan atau standar teknis apa pun yang ditetapkan ESDM. Bahkan, Peraturan Menteri No. 12 Tahun 2015 secara jelas mengizinkan pengecer BBM untuk jual bensin yang mengandung hingga 20% etanol.

Jadi, apa sebenernya yang bikin Vivo mundur?

Pencampuran Etanol

Vivo membela keputusannya dengan tunjukkan perbedaan antara spesifikasi bahan bakar mereka dan Punya Pertamina.

Diketahui bahwa Vivo dan pengecer swasta lain lebih suka bahan bakar dasar murni—tanpa tambahan aditif seperti etanol. Meski mereka terbuka dengan dukungan dari Pertamina, para pelaku swasta bersikeras untuk pertahankan proses pencampuran mereka sendiri.

MEMBACA  Komitmen Indonesia untuk Mengubah Tantangan Iklim Menjadi Peluang Pembangunan Berkelanjutan

Hadi Ismoyo, Sekretaris Jenderal Asosiasi Insinyur Perminyakan Indonesia (IATMI), jelaskan bahwa spesifikasi bahan bakar dasar itu sangat kritis dalam produksi bensin.

Etanol sering ditambahkan untuk tingkatkan nilai oktan bahan bakar. Tapi, ketika etanol sudah ada dalam bahan bakar dasar, itu bisa mengganggu proses kimia yang dipakai pengecer swasta, mempengaruhi formula pencampuran dan kualitas produk akhir mereka.

Mengingat itu, mudah dimengerti kenapa kesepakatan Pertamina–Vivo bubar. Bahkan sedikit etanol—sekecil 1%, apalagi 3,5%—bisa ubah sifat-sifat bahan bakar.

Singkatnya, Vivo dan yang lain mau bahan bakar dasar dengan sedikit atau tanpa aditif, terutama etanol.

Namun, ini bentrok dengan tujuan Pertamina untuk produksi bahan bakar beroktan tinggi seperti Pertamax, Pertamax Turbo, dan Pertamax Green—yang semuanya butuh bahan bakar dasar campuran etanol untuk bedakan mereka dari Pertalite bersubsidi.

Etanol dan Energi Bersih

Menurut Pusat Data Bahan Bakar Alternatif AS, lebih dari 98% bensin yang dijual di negara itu mengandung etanol—paling umum sekitar 10%.

Praktik ini didukung oleh Standar Bahan Bakar Terbarukan AS, yang mewajibkan produsen bahan bakar untuk gunakan aditif ramah lingkungan, dengan etanol jadi salah satu yang paling umum.

Begitu juga, Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (RED) mendorong negara-negara anggota untuk pakai campuran bahan bakar lebih bersih seperti E10, yang mengandung 10% etanol. E10 udah jadi standar di negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan Inggris.

Walaupun RED III—berlaku sejak akhir 2023—tidak secara langsung wajibkan penggunaan etanol, ia tawarkan dua jalur kepatuhan bagi negara-negara UE untuk capai target emisi sektor transportasi pada 2030: pastikan 29% energi transportasi berasal dari sumber terbarukan, atau turunkan emisi dari bahan bakar sebesar 14,5%.

MEMBACA  Masa Depan Laut: Wajah Baru Samudera di Tengah Perubahan Iklim dan Eksploitasi Berlebih

Di Asia, India terus maju dengan strategi biofuelnya sendiri, menargetkan E20 (20% etanol dalam bensin) pada 2030. Ini tidak hanya dukung pengurangan emisi tapi juga untungkan petani tebu di negara itu.

Melihat pergeseran global ini, Indonesia mulai mengikutinya.

Bioetanol untuk Ketahanan Energi

Kementerian ESDM Indonesia rencanakan luncurkan produksi bioetanol pada 2027 di Merauke, Papua Selatan. Biofuel ini, yang berasal dari gula tumbuhan melalui fermentasi, adalah bagian dari strategi Indonesia yang lebih luas untuk tingkatkan ketahanan energi sekaligus dukung tujuan energi bersih global.

Program bioetolan berawal dari inisiatif andalan pemerintah, food estate, yang bertujuan kembangkan 500.000 hektar perkebunan tebu. Proyek ini terinspirasi dari kesuksesan Brasil dalam mengubah tebu menjadi energi terbarukan.

Untuk tingkatkan daya saing bioetanol, Kementerian ESDM terus dorong perizinan yang lebih sederhana untuk pembebasan cukai atas etanol tingkat bahan bakar. Saat ini, salah satu penghalang utamanya adalah tarif cukai tinggi sebesar Rp20.000 (US$1,20) per liter, yang diterapkan ke etanol domestik maupun impor.

Mempercepat pembebasan cukai sangat penting untuk turunkan harga bioetanol dan buat dia bersaing dengan bahan bakar fosil.

Ambisi energi bersih Indonesia ditekankan lagi oleh Presiden Prabowo Subianto selama Sidang Majelis Umum PBB ke-80.

Dalam pidato yang menarik perhatian internasional, dia umumkan bahwa Indonesia sedang bergerak tegas meninggalkan pembangunan berbasis bahan bakar fosil menuju masa depan yang fokus pada energi terbarukan.

Jadi, etanol dalam bahan bakar bukan cuma detail teknis—itu adalah simbol komitmen Indonesia pada energi lebih bersih dan transisi global menuju transportasi yang lebih berkelanjutan.

Itu sendiri seharusnya jadi alasan cukup bagi pemerintah untuk rangkul lebih banyak pemangku kepentingan—termasuk pengecer BBM swasta—untuk sejajarkan praktik mereka dengan agenda hijau.

MEMBACA  Apple Watch Series 11 Bisa Siap Bersaing di Ajang Pekan Depan

Di saat yang sama, tetap penting untuk seimbangkan ketahanan energi dan tujuan lingkungan dengan kebutuhan praktis bisnis yang beroperasi dalam lanskap yang terus berkembang ini.

Berita terkait: Presiden Prabowo setujui kebijakan BBM E10 untuk kurangi impor dan emisi

Berita terkait: Indonesia mulai uji jalan B50 biodiesel jelang peluncuran 2026

Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2025