Jakarta, VIVA – Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 menyebutkan penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,5 persen. Namun, masih ada lebih dari 60 juta penduduk yang belum memiliki akses internet yang stabil.
Selain itu, kesenjangan digital juga masih menjadi isu yang mewarnai dinamika masyarakat di Indonesia. Dimana, di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), konektivitas masih menjadi tantangan utama. Data dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) menunjukkan bahwa lebih dari 12.500 desa masih minim akses internet berkualitas.
Meski di sisi lain, pasar telekomunikasi Indonesia tetap diperkirakan tumbuh 7,5 persen per tahun, dengan pasar broadband mencapai US$11 miliar pada tahun ini. PT Bahar Konsultan Indonesia (Bahar) dan PT Alita Praya Mitra (Alita) menyoroti pentingnya adaptasi industri telekomunikasi Indonesia terhadap kehadiran Starlink, layanan teknologi satelit Orbit Rendah Bumi (Low Earth Orbit/LEO) milik Elon Musk.
Kehadiran Starlink di Indonesia dinilai bisa membuka peluang baru dalam peningkatan akses konektivitas, khususnya di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), yang dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan produktivitas masyarakat. Dalam kajian terbaru yang dilakukan oleh Bahar dan Alita, disoroti bahwa keberadaan satelit LEO seperti Starlink tidak hanya melengkapi infrastruktur jaringan yang sudah ada, tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi ekosistem industri telekomunikasi domestik.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan regulasi yang interdisipliner dan responsif agar persaingan tetap sehat serta mendukung pertumbuhan industri secara berkelanjutan. Wahyuni Bahar, managing partner Bahar, menegaskan pentingnya penyesuaian kerangka regulasi dalam menghadapi era baru telekomunikasi.
Sementara itu, Direktur Utama Alita Praya Mitra, Teguh Prasetya menjelaskan, inovasi teknologi seperti yang dibawa oleh Starlink harus sejalan dengan kebijakan nasional. “Kehadiran Starlink di Indonesia menambah dinamika industri telekomunikasi dan memberikan peluang untuk meningkatkan akses konektivitas berkecepatan tinggi, terutama di daerah 3T,” jelas dia. Akan tetapi, Teguh menekankan, penting bagi pemerintah sebagai regulator untuk memastikan bahwa integrasi teknologi ini berjalan seiring dengan kebijakan nasional, termasuk aspek persaingan usaha, keamanan data, dan penguatan industri lokal.
Keduanya juga sepakat bahwa ekosistem telekomunikasi Indonesia harus mengambil langkah strategis untuk beradaptasi dengan kehadiran teknologi satelit LEO. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain: – Meningkatkan kolaborasi industri guna menciptakan ekosistem yang lebih inklusif dan berdaya saing global. – Mendorong investasi dalam infrastruktur dan layanan berbasis satelit guna memperluas cakupan jaringan. – Menyesuaikan kebijakan bisnis untuk memastikan keseimbangan antara inovasi dan keberlanjutan industri domestik.