Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pada bulan Agustus 1945. Tahap akhir Perang Dunia Kedua berlangsung. Tindakan AS ini atas persetujuan dari Britania Raya sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Quebec. Dua operasi pengeboman ini menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa dan merupakan penggunaan senjata nuklir masa perang untuk pertama kalinya dan satu-satunya dalam sejarah.
William G. Carr dalam bukunya berjudul “Yahudi Menggenggam Dunia” (Pustaka Kautsar, 1993) mengisahkan para pemilik modal Yahudi internasional melihat tanda-tanda akan berakhirnya Perang Dunia II. Negara-negara yang terlibat telah lumpuh, dan Joseph Stalin bertekad untuk mengadakan serbuan besar-besaran ke Eropa Barat sendiri, serta menyerbu Amerika untuk menghancurkan musuh dan memperluas pengaruh Komunisme ke seluruh dunia.
Para tokoh militer dan sipil Amerika dan Eropa menyadari ancaman bahaya ini. Mereka memandang bahwa, untuk menghalangi langkah Pimpinan Soviet Joseph Stalin, pertama-tama perang dengan Jepang harus diakhiri. Hal ini harus dibicarakan secara terbuka dengan Stalin.
Namun, penyelesaian seperti itu dikhawatirkan akan merugikan pihak konspirasi internasional. Akhirnya, kekuatan terselubung ini memilih Jepang untuk dijadikan kambing hitam atau medan percobaan, tanpa memperhitungkan akibat dari senjata membinasakan yang baru akan muncul saat itu, yaitu bom atom.
Protes beberapa perwira tinggi Amerika tentang penyelesaian masalah dengan cara barbar seperti itu untuk mencegah malapetaka tidak mendapat perhatian sama sekali.
Bernard Baruch dan para pemilik modal Yahudi internasional berhasil menekan Presiden Roosevelt untuk menggunakan bom atom, meskipun Jenderal Mac Arthur dan tokoh nasional lainnya menentang penggunaan senjata itu. Maka, tidak bisa dihindari lagi bahwa senjata mematikan itu jatuh pertama kali di kota Hiroshima, dan bom kedua jatuh di kota Nagasaki.
Jepang segera menyerah kepada sekutu beberapa hari setelah jatuhnya bom atom. Setelah itu, propaganda besar-besaran segera beredar untuk memberikan justifikasi atas peristiwa biadab tersebut. Kekalahan Jepang sebenarnya sudah tercium sebelum bom atom itu dijatuhkan.
Ini dikemukakan oleh Jenderal Mac Arthur sendiri, sebagai panglima tertinggi pasukan Amerika Serikat di Timur Jauh. Hal yang sama juga diucapkan oleh para perwira tinggi Amerika lainnya.
William mengatakan sumber intelijen yang lain menunjukkan adanya gejala bahwa Jepang sudah mencoba berkali-kali untuk menyerah dan bersedia memasuki meja perundingan damai, tetapi ditolak oleh pihak yang berniat menjatuhkan bom atom tersebut.
Jatuhnya bom atom telah mengakhiri Perang Dunia II. Dunia terbelah menjadi dua blok, yaitu Stalin dan dunia Barat, sesuai dengan perjanjian Teheran, Malta, dan Potsdam.
Dalam perjanjian itu, dunia dibagi menjadi wilayah pengaruh yang saling berhadapan, seperti halnya yang terjadi akibat perjanjian Versailles. Namun, masalahnya tidak hanya berhenti di sini. Di samping itu, ada pembicaraan rahasia antara para wakil pemilik modal internasional dan Stalin untuk mengungkapkan kondisi masing-masing pihak.
Stalin saat itu sedang berada pada akhir masa kekuasaannya. Kekuatan atheisme yang diwakili oleh Komunisme belum tentu akan terus berperan sebagai alat setelah Stalin meninggal dunia.
Di sisi lain, sendi-sendi yang telah dimasuki oleh agen-agen kekuatan terselubung bisa menjadi jalan mudah untuk menguasai negara itu beserta satelit-satelitnya.
Adapun bahaya yang mungkin datang dari Stalin sendiri terbatas pada masa usia Stalin yang telah lanjut tersebut. Maka, harus dihindari agar Stalin tidak melangkah ke kebinasaannya sendiri, sekaligus membinasakan harapan para pemilik modal internasional, di samping kehancuran global.
(mhy)