Jakarta (ANTARA) – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia telah meluncurkan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk perizinan distribusi obat dan makanan. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses registrasi dan sertifikasi.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan pada Jumat bahwa langkah ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.
Inovasi ini juga diakui oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai lompatan besar pertama dalam pelayanan publik berbasis AI di Indonesia.
Menurut dia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat luar biasa, dan penggunaan AI tidak terelakkan lagi. Karena itu, BPOM secara bertahap mengadopsi teknologi ini.
“Kami memahami bahwa proses sertifikasi dan registrasi, standardisasi, serta proses pengakuan, yang menjadi tugas kami terkait obat dan makanan, sudah memiliki basis data tertentu,” ujarnya.
Misalnya, kosmetik tidak boleh mengandung merkuri atau bahan berbahaya lainnya. Sistem AI menyimpan standar-standar ini dan menerapkannya saat pendaftaran dan penerbitan izin.
“Proses ini memitigasi ketidakpatuhan: jika produk tidak memenuhi standar, akan secara otomatis ditolak,” jelasnya.
Setelah lulus penyaringan pertama, pemantauan tambahan dilakukan melalui pengawasan pasca-pemasaran.
Direktorat siber, intelijen, dan penyelidikan BPOM juga dapat melakukan pemeriksaan mendadak, tambahnya. Produk yang ditemukan tidak mematuhi aturan akan langsung ditindak, termasuk pencabutan izin, peringatan publik, dan tindakan hukum jika diperlukan.
"Sistem AI ini akan diperluas secara bertahap ke produk lainnya, termasuk obat herbal terstandarisasi, suplemen, makanan, dan farmasi," kata Ikrar.
Dia menambahkan bahwa BPOM akan mengevaluasi efektivitas sistem AI untuk integrasi ke dalam program kerja tahun depan.
Sebelumnya, Deputi BPOM Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Elin Herlina, menyatakan bahwa penerapan AI dalam pengawasan obat dan makanan olahan sudah tidak bisa dihindari.
“Pengawasan sekarang harus merambah ke ranah online, termasuk iklan yang menyesatkan dan penjualan ilegal, yang tidak bisa lagi ditangani secara manual. Oleh karena itu, AI bukan lagi pilihan, tetapi suatu keniscayaan,” pungkas Herlina.