\”
loading…
Menyembelih binatang hendaknya menurut yang disyariatkan dalam Islam. Foto/Ilustrasi: Ist
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan binatang-binatang darat yang halal dimakan itu ada dua macam: Binatang-binatang tersebut mungkin untuk ditangkap, seperti unta, sapi, kambing dan binatang-binatang jinak lainnya, misalnya binatang-binatang peliharaan dan burung-burung yang dipelihara di rumah-rumah.
Kedua, binatang-binatang yang tidak dapat ditangkap.
\”Untuk binatang-binatang yang mungkin ditangkap seperti tersebut di atas, supaya dapat dimakan, Islam memberikan persyaratan harus disembelih menurut aturan syara\’,\” ujar Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul \”Halal dan Haram dalam Islam\” (PT Bina Ilmu, 1993)
Penyembelihan menurut syara\’ yang dimaksud, kata al-Qardhawi, hanya bisa sempurna jika terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1). Binatang tersebut harus disembelih atau ditusuk (nahr) dengan suatu alat yang tajam yang dapat mengalirkan darah dan mencabut nyawa binatang tersebut, baik alat itu berupa batu ataupun kayu.
\’Adi bin Hatim ath-Thai pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: \”Ya Rasulullah! Kami berburu dan menangkap seekor binatang, tetapi waktu itu kami tidak mempunyai pisau, hanya batu tajam dan belahan tongkat yang kami miliki, dapatkah itu kami pakai untuk menyembelih?\”
Maka jawab Nabi: \”Alirkanlah darahnya dengan apa saja yang kamu suka, dan sebutlah nama Allah atasnya.\” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasal, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)
2). Penyembelihan atau penusukan (nahr) itu harus dilakukan di leher binatang tersebut, yaitu: bahwa kematian binatang tersebut justru sebagai akibat dari terputusnya urat nadi atau kerongkongannya.
Penyembelihan yang paling sempurna, yaitu terputusnya kerongkongan, tenggorokan dan urat nadi.
Persyaratan ini dapat gugur apabila penyembelihan itu ternyata tidak dapat dilakukan pada tempatnya yang khas, misalnya karena binatang tersebut jatuh dalam sumur, sedang kepalanya berada di bawah yang tidak mungkin lehernya itu dapat dipotong; atau karena binatang tersebut menentang sifat kejinakannya.
Waktu itu boleh diperlakukan seperti buronan, yang cukup dilukai dengan alat yang tajam di bagian manapun yang mungkin.
Raafi\’ bin Khadij menceriterakan:
\”Kami pernah bersama Nabi dalam suatu bepergian, kemudian ada seekor unta milik orang kampung melarikan diri, sedang mereka tidak mempunyai kuda, untuk mengejar, maka ada seorang laki-laki yang melemparnya dengan panah. Kemudian bersabdalah Nabi: \’Binatang ini mempunyai sifat primitif seperti primitifnya binatang biadab (liar), oleh karena itu apa saja yang dapat dikerjakan, kerjakanlah; begitulah.\” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3). Tidak disebut selain asma\’ Allah; dan ini sudah disepakati oleh semua ulama. Sebab orang-orang jahiliah bertaqarrub kepada Tuhan dan berhalanya dengan cara menyembelih binatang, yang ada kalanya mereka sebut berhala-berhala itu ketika menyembelih, dan ada kalanya penyembelihannya itu diperuntukkan kepada sesuatu berhala tertentu. Untuk itulah maka al-Quran melarangnya, yaitu sebagaimana disebutkan dalam firmannya:
\”Dan binatang yang disembelih karena selain Allah … dan binatang yang disembelih untuk berhala.\” (al-Maidah: 3)
4). Harus disebutnya nama Allah (membaca bismillah) ketika menyembelih. Ini menurut zahir nas al-Quran yang mengatakan:
\”Makanlah dari apa-apa yang disebut asma\’ Allah atasnya, jika kamu benar-benar beriman kepada ayat-ayatNya.\” (al-An\’am: 118)
\”Dan janganlah kamu makan dari apa-apa yang tidak disebut asma\’ Allah atasnya, karena sesungguhnya dia itu suatu kedurhakaan.\” (QS al-An\’am: 121)
Dan sabda Rasulullah SAW:
\”Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut asma\’ Allah atasnya, maka makanlah dia.\” (Riwayat Bukhari)
Di antara yang memperkuat persyaratan ini, ialah beberapa hadis sahih yang mengharuskan menyebut asma\’ Allah ketika melepaskan panah atau anjing berburu, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Sementara ulama ada juga yang berpendapat, bahwa menyebut asma\’ Allah itu sudah menjadi suatu keharusan, akan tetapi tidak harus ketika menyembelihnya itu. Bisa juga dilakukan ketika makan. Sebab kalau ketika makan itu telah disebutnya asma\’ Allah bukanlah berarti dia makan sesuatu yang disembelih dengan tidak disebut asma\’ Allah. Karena sesuai dengan cerita Aisyah, bahwa ada beberapa orang yang baru masuk Islam menanyakan kepada Rasulullah:
\”Sesungguhnya suatu kaum memberi kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah mereka itu menyebut asma\’ Allah atau tidak? Dan apakah kami boleh makan daripadanya atau tidak? Maka jawab Nabi: \’Sebutlah asma\’ Allah dan makanlah.\’\” (Riwayat Bukhari)
(mhy)
\”