Mengejar keselarasan antara manusia dan orangutan di Kalimantan

Palangka Raya (ANTARA) – Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus), yang berasal dari Pulau Kalimantan, adalah kelompok kera besar yang genetiknya paling mirip dengan manusia, karena kedua spesies tersebut memiliki sekitar 97 persen DNA yang sama. Keberadaan kera yang sangat cerdas ini, sebenarnya memiliki nilai yang sangat penting di mata masyarakat internasional, seperti halnya panda di China dan kanguru di Australia. Meskipun memiliki nilai tersebut, orangutan Borneo dinyatakan sebagai spesies yang terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature pada tahun 1994. Di dalam negeri, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya hayati alam dan ekosistemnya, yang menempatkan orangutan sebagai hewan yang dilindungi. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, Persada Agussetia Sitepu, menyebutkan bahwa penurunan populasi orangutan disebabkan oleh pemburu dan pelaku perdagangan spesies tersebut. Menurut Sitepu, tren yang tidak menguntungkan juga disebabkan oleh kerusakan hutan, kebakaran, dan tindakan ilegal, yang juga menyebabkan kelangkaan pasokan makanan alami. Untuk itu, orangutan terpaksa harus mencari sumber makanan di area baru, seperti zona perkebunan yang dikelola oleh perusahaan atau penduduk lokal, yang pada akhirnya memicu konflik antara manusia dan satwa liar. “Konflik semacam itu sering kali menyebabkan kematian orangutan,” ujar Sitepu. Pencegahan konflik Analisis populasi dan habitat yang dilakukan pada tahun 2016 memperkirakan total populasi orangutan di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan (Borneo) bagian Indonesia dan Malaysia sekitar 71.820 ekor. Dari total tersebut, orangutan Borneo, yang menghuni total area seluas 18.169.200 hektar, berjumlah 57.350 ekor yang terbagi dalam 42 kelompok populasi, 18 di antaranya memiliki potensi untuk berkembang dalam satu hingga lima abad mendatang. Agar orangutan bisa berkembang dengan baik, manusia harus mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi konflik dengan mengadopsi pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal. BKSDA Kalimantan Tengah telah aktif mendukung keberlangsungan orangutan dengan mengadopsi program-program yang bertujuan untuk melestarikan dan merehabilitasi habitat dari kera yang terancam punah ini tanpa menghambat proyek-proyek pembangunan. Dalam upaya mencegah konflik antara manusia dan orangutan, BKSDA berupaya untuk memastikan bahwa perusahaan yang terlibat dalam produksi minyak kelapa sawit, kayu, dan komoditas lainnya mematuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan dan tanggung jawab sosial yang ketat. Dalam kolaborasi dengan penegak hukum, lembaga konservasi ini telah berinvestasi waktu dan usaha untuk mengambil tindakan tegas melawan pemburu, penangkap, dan pedagang orangutan Borneo. Kebutuhan untuk pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait untuk menciptakan jalur lintas satwa liar juga telah disuarakan. Selain itu, BKSDA Kalimantan Tengah terus menjalin kemitraan dengan organisasi non-pemerintah, seperti Borneo Orangutan Survival dan Orangutan Foundation International, untuk menyelamatkan, merehabilitasi, dan melepaskan orangutan. Desa ramah satwa liar Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lokal tentang pentingnya konservasi dan partisipasi aktif mereka diyakini menjadi kunci untuk menjamin harmoni yang abadi antara manusia dan orangutan. “Untuk itu, Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Siti Nurbaya) telah menetapkan Tahawa sebagai desa ramah satwa liar,” ujar Sitepu dari BKSDA Kalimantan Tengah. Terletak di distrik Pulang Pisau, Desa Tahawa dapat dicapai dengan perjalanan darat sekitar 1,5 jam menggunakan kendaraan roda empat dari ibu kota Kalimantan Tengah, Palangka Raya. Desa Tahawa berada di tengah area perkebunan industri, sehingga hutan di desa tersebut menjadi tempat berburu yang menarik bagi pemburu dari luar desa. Kondisi ini mendorong warga Tahawa untuk memainkan peran aktif dalam memastikan keberlanjutan hutan beserta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Untuk mendukung inisiatif pemerintah pusat, BKSDA Kalimantan Tengah telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada Desa Tahawa dan desa-desa sekitarnya untuk mengadopsi konsep desa ramah satwa liar. BKSDA telah bergerak untuk mengumpulkan data tentang desa-desa untuk mengidentifikasi desa yang berpotensi menjadi zona ramah satwa lainnya. Setelah sebuah desa dinyatakan ramah terhadap satwa liar, diharapkan menjadi lokasi untuk pelepasan atau relokasi hewan liar yang diselamatkan di Kalimantan Tengah. Berdasarkan pemantauan pada tahun 2022, Desa Tahawa merupakan rumah bagi berbagai hewan yang dilindungi, seperti orangutan, owa putih Borneo, paradise flycatcher, trogon, Bornean bristlehead, tragulus atau kancil, barking deer, jungle cat, tarsius, dan trenggiling. Berkat kekayaan keanekaragaman hayatinya, Tahawa diharapkan dapat menjadi desa pariwisata satwa liar yang dikelola secara mandiri oleh penduduknya. Selain itu, BKSDA terus melatih warga desa, memberikan kemampuan kepada mereka untuk melacak jejak hewan, sehingga memberi mereka kesempatan untuk bekerja sebagai pemandu wisata bagi pengunjung yang menyukai satwa liar. Saat ini, BKSDA Kalimantan Tengah mengelola area konservasi seluas 539.296,67 hektar, yang hanya menyumbang 3,51 persen dari total luas Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara itu, upaya untuk keberlanjutan keanekaragaman hayati di luar area konservasi juga sama pentingnya. Dengan demikian, pendirian desa ramah satwa liar dapat dianggap sebagai inisiatif pemerintah untuk melebarkan kepeduliannya di luar zona konservasi. Perlu dicatat bahwa ide desa semacam itu pada dasarnya didasarkan pada tujuan untuk mengharmonisasikan aktivitas dan kepentingan manusia dan hewan liar yang tinggal di area yang sama. Kepala Wilayah Konservasi BKSDA Pangkalan Bun Kalimantan Tengah, Dendi Sutiadi, mengatakan bahwa pihaknya telah mengambil langkah-langkah mitigasi konflik yang intensif sambil menjalin kemitraan dengan masyarakat setempat untuk membuka jalan menuju pendirian desa ramah satwa liar lainnya. Selain itu, lembaga konservasi ini aktif memasyarakatkan penolakan terhadap pemburuan dan pembunuhan hewan liar serta mengingatkan perusahaan agar memastikan bahwa kegiatan mereka tidak mengancam satwa liar. Semua orang harus selalu ingat bahwa hutan Kalimantan dimaksudkan sebagai rumah bersama bagi manusia dan satwa liar. Tindakan yang disinkronkan dan kolaboratif sangat penting untuk memastikan bahwa hutan, satwa liar, dan manusia dapat berkembang tanpa merugikan pihak lain. Berita terkait: Pemerintah memastikan habitat orangutan tidak terganggu oleh pengembangan IKN Berita terkait: Tiga pedagang orangutan ditangkap di Aceh Tamiang Berita terkait: Empat orangutan dilepas ke hutan lindung Kalimantan Timur Copyright © ANTARA 2024

MEMBACA  Alice Guo menyerahkan ke Filipina, Indonesia ingin Haas sebagai gantinya