Langit Hitam Olimpiade, Meninggalkan Hutang bagi Tuan Rumah

Biaya menjadi tuan rumah Olimpiade terus meroket, sementara itu dampak ekonominya masih jauh dari jelas. Olimpiade Paris 2024 bisa menjadi ujian. Foto/Dok

Olimpiade terus berkembang secara dramatis sejak pertandingan modern pertama digelar pada tahun 1896. Pada paruh kedua abad ke-20, baik biaya tuan rumah maupun pendapatan yang dihasilkan dari penyelenggaraan Olimpiade terus tumbuh. Namun di sisi lain ada kontroversi atas beban yang dipikul negara tuan rumah.

Banyak ekonom berpendapat bahwa manfaat menjadi tuan rumah Olimpiade telah dibesar-besarkan dan yang paling buruk bahkan tidak menguntungkan, meninggalkan banyak negara tuan rumah dengan hutang besar dan kewajiban pemeliharaan.

Para analis menyarankan agar komite Olimpiade mereformasi proses penawaran dan seleksi untuk memberi insentif pada perencanaan anggaran yang realistis, meningkatkan transparansi, dan mempromosikan investasi berkelanjutan yang melayani kepentingan publik.

Namun Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan para pendukungnya berpendapat bahwa menjadi tuan rumah dapat meningkatkan profil kota yang ditunjuk sebagai penyelenggara serta menghasilkan manfaat ekonomi melalui pariwisata dan investasi dalam infrastruktur.

Belakangan kembali menjadi perdebatan tentang biaya dan manfaat menyelenggarakan acara besar semacam Olimpiade. Kenaikan biaya akibat penundaan imbas pandemi, membuat Olimpiade Tokyo 2020 melanjutkan rentetan biaya overrunning selama beberapa dekade.

Empat tahun kemudian, tuan rumah Paris juga akan menghadapi tagihan bernilai miliaran dolar. Dengan sejarah mantan tuan rumah lainnya masih berjuang dengan utang yang mereka keluarkan, beberapa kota yang menjadi kandidat untuk event selanjutnya telah menarik tawaran.

Kapan Biaya Tuan Rumah Olimpiade Jadi Sorotan

Bagi sebagian negara, pementasan Olimpiade adalah beban yang dapat dikelola tuan rumah. Acara tersebut diadakan di negara-negara kaya, baik di Eropa atau Amerika Serikat.

MEMBACA  Wakil Ketua MPR Meminta Pemerintah Meningkatkan Perlindungan Anak dari Ancaman Kekerasan

Lalu saat era sebelum adanya siaran televisi, tuan rumah tidak berharap mendapatkan untung. Sebaliknya, pertandingan didanai publik karena mereka yang menjadi tuan rumah adalah negara maju dengan infrastruktur lengkap.

Ekonom Andrew Zimbalist, yang menulis tiga buku tentang ekonomi Olimpiade mengatakan, tahun 1970-an menjadi titik balik. Pertandingan berkembang pesat, dengan jumlah peserta Olimpiade hampir dua kali lipat dari awal abad kedua puluh dan jumlah acara meningkat sepertiga selama tahun 1960-an.

Tetapi beberapa insiden berdarah menodai citra Olimpiade, dan skeptisisme publik untuk menarik utang demi menjadi tuan rumah Olimpiade mulai tumbuh.

Pada tahun 1972, Denver menjadi kota tuan rumah pertama dan satu-satunya yang menolak kesempatan untuk menjadi tuan rumah. Sebuah studi University of Oxford tahun 2024 memperkirakan bahwa, sejak 1960, biaya rata-rata menjadi tuan rumah Olimpiade telah meningkat tiga kali lipat dari harga penawaran.

Olimpiade 1976 di Montreal memperlihatkan risiko fiskal menjadi tuan rumah. Biaya penyelenggaraan diperkirakan mencapai USD124 juta yang diakibatkan adanya penundaan konstruksi dan pembengkakan biaya untuk stadion baru. Olimpiade Montreal akhirnya meninggalkan warisan utang sekitar USD1,5 miliar yang membutuhkan hampir 30 tahun untuk melunasinya.

Los Angeles adalah satu-satunya kota yang menawarkan dirinya menjadi tuan rumah pada Olimpiade 1984. Mereka menegosiasikan persyaratan yang sangat menguntungkan dengan IOC. Hal terpenting yakni Los Angeles bisa memanfaatkan stadion dan infrastruktur yang sudah ada, daripada menjanjikan fasilitas baru yang mewah untuk menarik komite seleksi IOC.

Dikombinasikan dengan lonjakan tajam dari pendapatan siaran televisi, menjadikan Los Angeles satu-satunya kota yang menghasilkan keuntungan saat menjadi tuan rumah Olimpiade, dimana berakhir dengan surplus USD215 juta.

Keberhasilan Los Angeles menyebabkan meningkatnya jumlah kota yang menawar untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, dari yang awalnya hanya ada dua pada 1988 menjadi 12 di 2024. Hal ini memungkinkan IOC untuk memilih kota-kota dengan rencana yang paling ambisius.

MEMBACA  Menteri Pertahanan Lloyd Austin Kembali Dirawat di Rumah Sakit karena Masalah Kandung Kemih

Selain itu peneliti Robert Baade dan Victor Matheson mengungkap, penawaran dari negara-negara berkembang meningkat lebih dari tiga kali lipat setelah tahun 1988. Negara-negara seperti China, Brasil, dan Rusia sangat ingin memanfaatkan Olimpiade untuk menunjukkan kemajuan mereka di panggung dunia.

Namun negara-negara ini harus mengucurkan investasi yang tidak sedikit demi membangun infrastruktur yang diperlukan. Biaya mengalami lonjakan menjadi USD20 miliar untuk 2016 di Rio de Janeiro.

Biaya ini menyebabkan beberapa kota menarik tawaran mereka. Pada tahun 2019, IOC mengadopsi proses untuk membuat penawaran lebih murah, memperpanjang periode penawaran dan memperluas persyaratan geografis untuk memungkinkan beberapa kota, negara bagian, atau negara menjadi tuan rumah bersama.