Dalam waktu dua bulan, Jakarta akan kehilangan statusnya sebagai ibu kota Indonesia, sebuah keistimewaan yang telah dinikmatinya sejak proklamasi kemerdekaan negara pada 17 Agustus 1945.
Benar bahwa kursi pemerintahan Indonesia pernah dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta di masa lalu. Namun, pemindahan itu dilakukan karena situasi keamanan yang semakin memburuk di Jakarta menyusul kedatangan pasukan sekutu bersama Administrasi Sipil Hindia Belanda (NICA).
Pada saat itu, pemimpin Indonesia melihat kedatangan pasukan asing sebagai ancaman. Bahkan, pasukan sekutu menyerang mobil Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir.
Presiden Soekarno juga merasakan ketidakamanan, dan situasi saat itu memaksa dia untuk terus berpindah tempat untuk menghindari agen intelijen Belanda.
Sebagai respons, ia dan Wakil Presiden Mohamad Hatta memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Jakarta mendapatkan kembali statusnya sebagai ibu kota sekitar empat tahun kemudian.
Perlu dicatat bahwa selama masa pra-kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda pernah merencanakan untuk memindahkan ibu kota dari Batavia (Jakarta) ke Bandung, Jawa Barat.
Dengan mempertimbangkan semua hal tersebut, bisa dikatakan bahwa pemindahan ibu kota bukan hal baru bagi Indonesia.
Pemerintah saat ini telah merencanakan untuk mengeksekusi pemindahan ibu kota ke Nusantara di Kalimantan Timur selama peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79 pada 17 Agustus tahun ini.
Dari DKI menjadi DKJ
Setelah Nusantara menjadi ibu kota, kursi pemerintahan saat ini akan dinyatakan sebagai Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Pada rapat paripurna yang diselenggarakan pada 28 Maret 2024, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Undang-Undang Nomor 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta. Presiden Joko Widodo kemudian menandatangani undang-undang tersebut pada 25 April.
Dengan disahkannya Undang-Undang DKJ, hanya tinggal menunggu waktu sebelum Jakarta resmi mengubah statusnya dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi DKJ.
Undang-undang DKJ diharapkan tidak hanya memungkinkan Jakarta untuk tetap mempertahankan statusnya sebagai pusat ekonomi nasional tetapi juga mendorongnya untuk menjadi megalopolis global yang semakin berkembang.
Perlu dicatat bahwa Pasal 63 undang-undang tersebut mewajibkan presiden untuk mengeluarkan dekret tindak lanjut untuk secara resmi memindahkan status ibu kota ke Nusantara. Oleh karena itu, Jakarta masih berfungsi sebagai kursi pemerintahan untuk saat ini.
Nasib Jakarta
Diskusi mengenai pemindahan ibu kota telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat tentang nasib dan masa depan Jakarta setelah kehilangan keistimewaannya. Beberapa khawatir bahwa Jakarta akan kehilangan daya tariknya sebagai kota besar bersama dengan status ibu kota.
Ridwan Kamil, kurator pembangunan Nusantara yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, mengamati bahwa pemindahan ibu kota tidak akan memiliki dampak langsung pada aktivitas di Jakarta.
“Setelah Nusantara mendapatkan status sebagai ibu kota, aktivitas di Jakarta tidak akan berubah begitu banyak,” katanya.
Dia menilai bahwa mungkin dibutuhkan beberapa dekade bagi pemindahan ibu kota untuk berpengaruh signifikan terhadap aktivitas dan kehidupan warga Jakarta.
Arsitek tersebut kemudian mengatakan bahwa tantangan utama yang akan dihadapi Jakarta dalam lima tahun ke depan terkait dengan perubahan iklim. Dalam konteks ini, dia menegaskan bahwa pemimpin masa depan Jakarta harus berusaha lebih keras untuk melindungi kota dari dampak buruk perubahan iklim.
Perubahan iklim memang telah memengaruhi kualitas udara di Jakarta, seperti yang terbukti dengan fakta bahwa infeksi saluran pernapasan akut menyumbang hampir 60 persen dari kasus penyakit di kota tersebut.
Kamil juga menekankan perlunya Jakarta untuk memperhatikan tingkat kehidupan, termasuk dengan menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang memadai untuk pejalan kaki.
Sementara itu, Presiden Organisasi Perencanaan dan Pemukiman Manusia Regional Timur (EAROPH), Emil Dardak, berpendapat bahwa untuk Jakarta tetap mempertahankan kekuatan ekonominya, kota harus terus menyediakan rumah yang terjangkau bagi warganya di pusat kota.
“Rusun yang terjangkau di pusat kota dapat membantu Jakarta mempertahankan aktivitas ekonomi dan membuatnya lebih efisien,” katanya.
Dia menegaskan bahwa ketiadaan tempat tinggal di pusat kota mungkin membuat Jakarta menjadi kota hantu setelah gelap.
Sebuah studi yang dilakukan oleh EAROPH merinci empat langkah yang diperlukan oleh Jakarta untuk mempertahankan statusnya sebagai megalopolis. Pertama, kota harus memperluas fungsinya, menjadi lebih dari sekadar pusat perbelanjaan dan kantor.
Kedua, sangat penting bagi Jakarta untuk mempertahankan aksesibilitas internalnya dengan memfasilitasi mobilitas warganya dengan jalan yang memadai, perencanaan perkotaan yang tepat, dan sistem transportasi yang handal.
Ketiga, Jakarta perlu mempertahankan keterhubungannya secara ekonomi dengan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Terakhir, Jakarta harus tetap menjadi kota yang dihuni meskipun kehilangan status ibu kotanya.
Hari-hari Jakarta sebagai ibu kota terhitung. Beberapa khawatir bahwa kehilangan status ibu kota akan menyebabkan penurunan pendapatannya.
Namun, masalah itu bukan satu-satunya tantangan yang akan dihadapi Jakarta dalam waktu dekat. Banyak pekerjaan menanti kota tersebut.
Hanya dengan mengatasi semua rintangan yang ada akan Jakarta mewujudkan visinya untuk menjadi kota bisnis global.
Berita terkait: Undang-Undang DKJ adalah yang terbaik untuk Provinsi Jakarta: Plt Gubernur
Berita terkait: RUU DKJ membantu menjadikan Jakarta kota kelas dunia: menteri dalam negeri
Penerjemah: Khaerul I, Tegar Nurfitra
Editor: Anton Santoso
Hak cipta © ANTARA 2024