Bali – Menutup serangkaian kegiatan World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali, delegasi dan peserta diundang untuk berwisata atau field trip ke tiga tempat yaitu Museum Subak, Danau Batur, dan Desa Wisata Jatiluwih.
Ketiga tempat tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat Bali memperlakukan dan mengelola air dalam kehidupan sehari-hari.
Di Museum Mandala Manthika yang dulunya bernama Museum Subak di Kabupaten Tabanan, Bali, delegasi diperkenalkan dengan koleksi peralatan pertanian tradisional hingga modern beserta sejarahnya. Hal ini memberikan pengetahuan tentang bagaimana tata kelola yang terus mengikuti perkembangan zaman tanpa merusak alam.
Salah satu peserta field trip dari Global Water Partnership Swedia, Yumiko Yasuda, mengaku sangat terinspirasi dengan sistem irigasi Subak di Bali.
Dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan, Mandala Manthika merupakan museum khusus tipe A yang dipelopori dan digagas oleh Gubernur Bali periode 1978-1988 Dr. Ida Bagus Mantra.
Setelah diresmikan pada tahun 1991, museum ini direstorasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2023 dan selesai pada 2024, menjelang perhelatan World Water Forum ke-10.
Pemandu Mandala Manthika, Ni Nyoman Mirahwati, menjelaskan bahwa museum ini menyimpan berbagai koleksi alat pertanian dari berbagai sejarah peradaban manusia yang dibagi menjadi tiga seksi.
Seksi pertama menyimpan berbagai artefak yang berhubungan dengan sejarah dan perkembangan irigasi negara China, Jepang, dan Korea. Seksi kedua menyimpan informasi tentang sistem irigasi Nusantara, yakni dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku.
Sementara seksi ketiga khusus menampilkan berbagai informasi dan benda koleksi terkait sistem irigasi Subak. Seksi ini menampilkan proses pra-penanaman, masa menanam, hingga proses memanen padi. Para peserta dan delegasi juga menyaksikan tayangan video dokumenter tentang Subak.
Pesona Gunung Batur
Pesona dan keindahan alam berpadu sempurna dengan udara yang sejuk di danau yang terbentuk dari kaldera letusan Gunung Batur puluhan ribu tahun yang lalu.
Dave Hebblethwaite dari Pacific Community Fiji mengaku merasakan koneksi antara Bali dan Fiji karena sama-sama berada dalam jalur gunung api di kawasan Pasifik.
Korsah yang bekerja di Ghana Water Ltd itu mengaku sangat tertarik untuk menjelajah berbagai tempat di Bali.
Usai mengunjungi Danau Batur, para peserta field trip kemudian mengunjungi Pura Jati Segara, Agromina Songan, Hutan Pinus Glagah Lingga, Ubud Water Palace, dan berakhir di Pasar Seni Ubud.
Di Agromina Songan, peserta berinteraksi dengan petani setempat yang tergabung dalam Kelompok Tani Eka Tunas Merta Songan. Para peserta berkesempatan untuk mencoba memanen pakcoi, sayuran sejenis sawi dari keluarga Brassicaceae. Di lokasi ini, pakcoi ditanam dengan sistem pertanian menggunakan air yang terbatas di lerang Gunung Batur.
Delegasi yang berkunjung ke Desa Wisata Jatiluwih langsung ikut menampi beras sekaligus menyaksikan beragam tanaman Anggrek dan Kaktus.
Sebelum memasuki area, rombongan disambut puluhan perempuan asli Jatiluwih, berbaris di kanan dan kiri jalan. Para perempuan berbaris menyambut para peserta, sambil menari Tari Metangi.
Setelah disambut tarian, sejumlah peserta terlihat antusias ikut mencoba untuk menampi beras bersama ibu-ibu masyarakat setempat. Sesekali mereka nampak tertawa bersama terutama saat beberapa peserta canggung dan merasa kesulitan melempar serta menangkap kembali butiran beras saat menampi.
Selama perjalanan di persawahan terasering Jatiluwih, yang tengah tumbuh padi beras merah lokal Cendana, peserta sangat kagum dan mengabadikannya dengan kamera.
Sawah terasering ini menerapkan sistem subak yang dalam prosesnya melalui 15 tahapan upacara adat Bali setiap musim tanam datang. Subak Jatiluwih memiliki luas 303 hektar dan yang efektif ditamani padi seluas 227 hektare.
Pekaseh Subak Jatiluwih Wayan Mustra menjelaskan bahwa cara tanam ini sudah diterapkan turun-temurun secara bertahun-tahun. Tidak ada warga yang berani melanggar tahapan upacara yang telam menjadi aturan (awig-awig) yang sudah diterapkan masyarakat setempat sejak dulu.
Setelah diresmikan pada tahun 1991, museum ini direstorasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2023 dan selesai pada 2024, menjelang perhelatan World Water Forum ke-10.