Di tengah teknologi yang terus mengganggu, memecah belah, dan mengotomatisasi, banyak orang masih menemukan ketenangan di pulau-pulau analog di lautan digital.
Kelompok ini mencakup berbagai generasi, menyatukan orang tua dan paruh baya yang lahir di era pra-internet dengan generasi muda yang tumbuh di dunia serba daring.
Mereka menaruh gadgetnya untuk melukis, mewarnai, merajut, dan main permainan papan. Yang lain menyempatkan waktu untuk mengirim kartu ucapan tulisan tangan. Beberapa masih menyetir mobil manual meski dikelilingi mobil yang bisa menyetir sendiri. Pemutar piringan hitam (vinyl) juga makin banyak penggemarnya, menghidupkan kembali format analog yang dulu hampir punah.
Martin Bispels (57), mantan eksekutif QVC, bilang kegiatan analog jadi pelarian nostalgia bagi generasi yang lahir 1946-1980. Dia baru mulai usaha yang jual merchandise musik rock era 60-an dan 70-an.
"Masa lalu memberi kenyamanan. Masa lalu itu bisa dipahami," kata Bispels. "Kamu bisa mendefinisikannya sesuai ingatanmu."
Tapi kegiatan analog juga menarik bagi generasi muda (milenial & Gen Z) yang lahir 1981-2012. Mereka yang sehari-hari hidup di budaya digital rupanya merindukan aktivitas yang lebih personal.
Menurut Pamela Paul, penulis buku "100 Things We’ve Lost To The Internet," generasi muda punya kerinduan akan hal-hal yang bisa disentuh karena hidup mereka serba digital dan tak berwujud.
"Mereka mulai sadar bagaimana internet mengubah hidup, dan berusaha menghidupkan kembali lingkungan rendah teknologi yang dulu dianggap biasa oleh generasi tua," ujarnya.
Berikut gambaran bagaimana cara-cara lama menjadi baru lagi.
Kartu Ucapan yang Tetap Dikirim
Tukar-menukar kartu adalah tradisi berabad-abad yang nyaris hilang tergantikan pesan teks dan media sosial. Selain lebih cepat, komunikasi digital juga lebih murah dibandingkan harga prangko yang naik terus.
Tapi tradisi ini bertahan berkat orang-orang seperti Megan Evans. Dia buat grup Facebook "Random Acts of Cardness" sepuluh tahun lalu untuk jaga hubungan manusia di dunia yang makin impersonal.
"Siapa pun bisa kirim pesan ‘Selamat Ulang Tahun!’. Tapi mengirim kartu adalah cara yang lebih sengaja untuk tunjukkan kamu peduli," kata Evans. "Itu sesuatu yang disentuh tangan pengirim dan akan dipegang oleh penerimanya."
Lebih dari 15.000 orang sekarang jadi anggota grupnya, termasuk Billy-Jo Dieter yang kirim minimal 100 kartu per bulan untuk hari ulang tahun dan hari raya. "Ini seni yang hampir punah," katanya.
Keunikan Mobil Transmisi Manual
Sebelum ada konsep "Singularity" tentang komputer yang menyatu dengan manusia, jalanan dipenuhi mobil manual yang dikendalikan penuh oleh pengemudi.
Tapi mobil manual kini semakin langka. Kurang dari 1% mobil baru di AS yang punya transmisi manual, turun drastis dari 35% di tahun 1980.
Tapi masih ada penggemar setia seperti Prabh dan Divjeev Sohi. Dua bersaudara ini menyetir mobil manual ke kampusnya di Silicon Valley, di tengah jalanan yang dipenuhi Tesla. Mereka suka mobil manual sejak main game balap dan diajak naik mobil manual oleh ayah dan kakeknya.
Jadi ketika cukup umur, Prabh (22) dan Divjeev (19) belajar skill yang jarang dikuasai anak seumurannya: menguasai kopling mobil manual. Awalnya susah, sampai mobil Jeep Wrangler 1994 mereka sering mogok dan bikin macet.
"Divjeev mogok sampai lima kali pertama kali nyetir di jalan," kenang Prabh.
Meski pengalaman itu bikin Divjeev grogi, dia merasa itu membuatnya lebih fokus.
"Kamu lebih hadir di momen saat nyetir mobil manual. Pada dasarnya kamu cuma fokus menyetir, tidak melakukan hal lain," kata Divjeev. "Kamu lebih paham dengan mobilnya. Kalau tidak dioperasikan dengan benar, mobilnya tidak akan jalan."
Kembalinya Piringan Hitam (Vinyl)
Keusangan vinyl terasa tak terhindarkan di tahun 80-an saat kaset dan CD muncul. Penjualan vinyl mencapai titik terendah di tahun 2006, dengan hanya 900.000 album terjual. Ini kontras dengan puncaknya di tahun 1977 saat 344 juta album vinyl terjual.
Tapi penurunan itu berbalik arah. Sekarang vinyl justru jadi ceruk yang berkembang. Dua tahun terakhir, sekitar 43 juta album vinyl terjual per tahun, meskipun layanan streaming musik sangat populer.
Pemicunya bukan cuma generasi baby boomer yang melengkapi koleksi lamanya. Generasi muda juga suka dengan suara vinyl yang lebih hangat dan kaya.
"Aku suka dengar album vinyl dari awal sampai akhir. Rasanya seperti duduk bersama artisnya," kata Carson Bispels (24). "Vinyl memberi kesan permanen yang buat musik terasa lebih asli. Hanya kamu dan musiknya, sebagaimana mestinya."
Carson adalah anak dari Martin Bispels. Beberapa tahun lalu, Martin memberi beberapa koleksi vinylnya ke Carson, termasuk album Bob Marley "Talkin’ Blues" yang sudah begitu usang sampai sering bunyi berderak.
"Aku masih mendengarkannya karena setiap kali putar, aku ingat ayahku," kata Carson.
Dari awalnya cuma 10 album pemberian ayahnya, Carson sekarang punya sekitar 100 album dan berencana terus menambah.
"Era musik digital sekarang juga bagus, tapi tidak ada yang bisa menandingi pengalaman pribadi pergi ke toko rekaman, melihat-lihat album sambil mengobrol dengan pembeli lain untuk tahu musik apa yang mereka dengar," ujar Carson.
Pamela Paul, penulis buku tentang aktivitas analog yang "dimakan" internet, mengatakan comebacknya vinyl membuatnya berpikir untuk tulis buku lanjutannya. "Kembali ke kemanusiaan," katanya, "bisa jadi bahan buku berikutnya."