Memberdayakan NTB Tanpa Ketergantungan, Mengubah Arah Kebijakan Energi Indonesia

Kemandirian energi bukan tujuan akhir, melainkan pondasi bagi pembangunan daerah yang tangguh, berdaulat, dan berkelanjutan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mataram (ANTARA) – Penerangan di Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) kini menyala tanpa putus, bahkan gangguan sekecil apapun langsung dialihkan ke feeder cadangan dalam hitungan milidetik.

Bagi sebagian orang, ini mungkin tampak sebagai urusan teknis semata. Namun bagi NTB, listrik yang tak terputus melambangkan ambisi yang lebih luas: melepaskan ketergantungan energi dan mencapai kemandirian energi.

Selama bertahun-tahun, sistem kelistrikan di Indonesia bagian timur, termasuk NTB, sering diposisikan sebagai "pengguna akhir" dari jaringan Jawa-Bali yang lebih besar. Ketika beban meningkat atau gangguan terjadi di pusat, dampaknya paling terasa di daerah-daerah.

Dalam konteks ini, pernyataan Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal bahwa provinsi ini tidak ingin lagi menjadi beban bagi Jawa memiliki bobot strategis. Kemandirian listrik bukan hanya tentang pasokan, tetapi tentang posisi NTB dalam peta pembangunan nasional Indonesia.

Isu ini penting karena listrik lebih dari sekadar urusan energi, ia adalah prasyarat fundamental untuk layanan publik, pertumbuhan ekonomi, dan kepercayaan investor. Tanpa listrik yang andal dan berkelanjutan, rencana pembangunan daerah yang ambisius berisiko pudar sebelum terbentuk.

Secara geografis, NTB dikaruniai potensi energi yang besar. Data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTB menunjukkan potensi energi terbarukan melebihi 13.500 megawatt. Angka itu jauh melampaui total permintaan listrik Bali, NTB, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), yang saat ini sekitar 1,2 gigawatt.

Sinar matahari tersedia hampir sepanjang tahun, angin bertiup stabil di sepanjang pesisir selatan dan timur, arus laut kuat mengalir melalui Selat Lombok dan Alas, sementara biomassa dan limbah kota dihasilkan setiap hari.

MEMBACA  Orleans Masters 2025: Kembalinya Apriyani/Fadia Setelah Lama Absen

Namun potensi besar ini sebagian besar masih belum dimanfaatkan. Energi baru dan terbarukan hanya menyumbang sekitar 5 persen dari total kapasitas listrik NTB. Selebihnya masih bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan jaringan interkoneksi yang tergantung pada sistem di luar daerah.

Kesenjangan antara potensi dan realisasi ini menjelaskan mengapa kemandirian energi sering dianggap sekadar slogan daripada tujuan yang nyata.

Di sisi lain, perusahaan listrik negara PLN telah menunjukkan upaya serius dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan keandalan pasokan listrik. Pemeliharaan jaringan terpadu, kualitas distribusi yang lebih baik, dan layanan tanpa downtime di kawasan pemerintahan strategis mencerminkan kemajuan teknis yang berlanjut.

Hasilnya terlihat dalam berkurangnya gangguan feeder dan indikator keandalan yang membaik. Namun, keandalan hari ini tidak secara otomatis berarti kemandirian energi di masa depan.

Kemandirian Energi

Keandalan listrik dan kemandirian energi terkait erat, tetapi tidak sama. Keandalan menyangkut seberapa stabil pasokan listrik hari ini. Kemandirian menyangkut dari mana listrik itu berasal dan seberapa besar kendali daerah atasnya.

Rencana membangun super grid di Kepulauan Sunda Kecil membuka babak baru. Dalam skema ini, NTB dan NTT tidak lagi berfungsi hanya sebagai konsumen, tetapi sebagai produsen energi hijau yang memasok wilayah yang lebih luas, termasuk Bali.

Logikanya sederhana. Bali menghadapi kendala lahan untuk pembangkit listrik, sementara NTB memiliki ruang yang luas dan sumber daya alam yang melimpah.

Namun, jalan ke depan tidaklah sederhana. Transisi energi membutuhkan investasi besar, kepastian regulasi, dan infrastruktur transmisi yang dipersiapkan dengan matang. Pembangkit listrik tenaga surya skala besar, fasilitas tenaga pasang surut, dan proyek biomassa yang menggunakan limbah kota harus diintegrasikan ke dalam sistem yang mampu menyediakan listrik stabil.

MEMBACA  Pabrik obat terlarang di Bali diselenggarakan oleh warga negara asing: BNN

Tanpa jaringan transmisi yang kuat dan sistem penyimpanan energi, energi terbarukan berisiko tetap menjadi proyek-proyek yang terfragmentasi dan terisolasi.

Realitas ini menegaskan perlunya memperlakukan kemandirian energi sebagai inisiatif lintas sektor, melampaui pertimbangan teknis hingga mencakup tata ruang, perizinan, kesiapan tenaga kerja, dan penerimaan masyarakat di sekitar lokasi pembangkit listrik.

Akses yang Adil

Kemandirian energi tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan keadilan. Program sambungan listrik gratis NTB untuk rumah tangga kurang mampu menunjukkan bahwa transisi energi harus menjangkau kelompok masyarakat yang paling rentan.

Listrik seharusnya tidak hanya menguntungkan industri besar atau kawasan VVIP, tetapi juga rumah-rumah kecil di desa terpencil yang lama menghadapi kelangkaan energi.

Ketika listrik tersedia, dampaknya langsung terasa: aktivitas ekonomi rumah tangga berkembang, anak-anak belajar lebih lama, dan kualitas hidup secara keseluruhan meningkat.

Dalam arti ini, kemandirian energi harus dipahami sebagai upaya memastikan seluruh warga merasakan manfaat pembangunan, bukan sekadar narasi besar energi hijau.

Inisiatif waste-to-energy memberikan contoh lain yang menarik. Saat tempat pembuangan akhir mendekati kapasitas, energi biomassa memberikan solusi ganda—mengurangi tekanan lingkungan sekaligus meningkatkan pasokan listrik.

Jika dikelola secara konsisten, pendekatan ini bisa berkembang menjadi model pembangunan yang sekaligus mengatasi tantangan lingkungan dan energi.

Meskipun arahan kebijakan menjanjikan, hambatan signifikan masih ada. Energi terbarukan pada dasarnya bersifat intermiten, tergantung pada cuaca dan kondisi alam.

Tanpa teknologi penyimpanan seperti baterai skala besar, stabilitas sistem tetap rentan. Investasi dalam teknologi semacam itu sangat besar dan membutuhkan komitmen kebijakan jangka panjang.

Ada juga risiko di tingkat proyek. Fasilitas energi hijau bisa menjadi monumen simbolis jika tidak terintegrasi ke dalam sistem distribusi atau selaras dengan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya.

MEMBACA  Perempuan Mengubah Mobil Listrik Kecil Menjadi Rumahnya

Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa proyek energi yang tidak memiliki kekuatan kelembagaan dan pengelolaan berkelanjutan cenderung kehilangan efektivitasnya seiring waktu. Pengembangan sumber daya manusia adalah faktor lain yang sering terabaikan.

Kemandirian energi membutuhkan teknisi, perencana, dan inovator lokal yang memahami karakteristik daerah. Tanpa investasi serius dalam modal manusia, daerah akan tetap bergantung pada keahlian dari luar—bahkan ketika sumber daya energi berasal dari lokal.

Mempertahankan Arah

Kemandirian listrik di NTB sejalan dengan prioritas nasional: memajukan energi bersih, memberdayakan daerah melalui potensi lokal, memandu pembangunan jangka panjang, dan memperkuat ketahanan energi Indonesia secara keseluruhan.

Namun, kemandirian tidak muncul dari satu kebijakan atau proyek tunggal. Itu tumbuh melalui konsistensi, pengambilan keputusan jangka panjang, dan kemampuan menyeimbangkan pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial.

Listrik yang tak terputus di kantor gubernur adalah titik awal yang positif. Namun, kemandirian sejati hanya akan terbukti ketika seluruh provinsi menikmati daya listrik yang andal, bersih, dan terjangkau.

NTB memiliki sinar matahari, angin, sumber daya laut, dan potensi manusia yang melimpah. Tantangannya sekarang adalah memastikan janji ini tidak meredup oleh langkah-langkah setengah hati.

Kemandirian energi bukan tujuan akhir, melainkan pondasi bagi pembangunan daerah yang tangguh, berdaulat, dan berkelanjutan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Editor: M Razi Rahman
Hak Cipta © ANTARA 2025

Tinggalkan komentar