Sebuah Burung Purba Tersedak hingga Mati oleh Ratusan Batu Kecil
Sekitar 120 juta tahun silam, seekor burung menelan lebih dari 800 batu kecil dan akhirnya mati karena tersedak. Para paleontolog belum yakin apa penyebab pastinya.
Seperti banyak "penemuan" fosil belakangan ini, para peneliti dari Field Museum sedang menelusuri koleksi fosil lama ketika mereka menyadari adanya sesuatu yang tampak seperti spesies yang sama sekali baru.
Mereka kemudian menemukan bahwa fosil tersebut merepresentasikan spesies burung (dan karenanya dinosaurus) baru, dan menamakannya Chromeornis funkyi—atau "Burung Chromeo yang Funky"—sebagai penghormatan kepada band electro-funk. Namun, hal yang paling mencolok dari Chromeornis, menurut para peneliti, adalah penyebab kematiannya yang tampak jelas: tersedak akibat menelan batu-batu kerikil.
Tampak dekat fosil. Batu yang ditelan burung terlihat berwarna abu-abu. Kredit: Jingmai O’Connor/Field Museum.
Fosil yang ditemukan di Shandong Tianyu Museum of Nature, Tiongkok, ini menjadi subyek makalah mendatang di Palaeontologia Electronica.
Kisah Seekor Burung yang Kurang Beruntung
Dipimpin oleh kurator Field Museum Jingmai O’Connor, para peneliti pertama kali menemukan Chromeornis saat berjalan-jalan menelusuri koleksi fosil burung di museum tersebut. Mereka melihat sebongkah batu berukuran kecil sebesar burung gereja yang menyimpan fosil dengan ciri-ciri mirip spesies burung lebih besar bernama Longipteryx.
“Ia punya gigi yang sangat besar di ujung paruhnya, persis seperti Longipteryx, tetapi tubuhnya sangat mungil,” tambah O’Connor dalam sebuah pernyataan. “Berdasarkan itu, saya tahu ini adalah sesuatu yang baru.”
Ilustrasi artis dari Chromeornis funkyi. Kredit: Sunny Dror/Field Museum.
Namun, itu hanyalah awal dari keanehan yang terlihat pada fosil ini. Saat tim memeriksanya di bawah mikroskop, mereka menemukan “gumpalan batu yang tidak biasa” di dalam kerongkongan makhluk itu, tepat di tulang lehernya. Analisis lebih lanjut terhadap penempatan dan komposisi kimia batu-batu tersebut sangat mengindikasikan bahwa batu itu memang ditelan oleh burung dan tidak mungkin hanya terkumpul di sekitarnya selama proses fosilisasi.
Meski demikian, burung menelan batu bukanlah hal yang aneh—terutama bagi para peneliti yang sebelumnya telah mempelajari fenomena ini. Spesies seperti burung hantu dan ayam akan menambahkan beberapa batu ke dalam makanan mereka untuk membantu menggilingnya di dalam organ berotot yang disebut tembolok.
“Namun, dari ribuan fosil burung dalam kelompok yang sama dengan fosil mungil ini, tidak satu pun yang pernah ditemukan dengan batu tembolok,” kata para peneliti dalam rilisnya. Misteri pun semakin dalam.
Tidak Beruntung, Sakit, atau Penuh Batu?
Di sisi lain, tim tidak menutup kemungkinan bahwa burung kecil ini bisa jadi adalah yang pertama dari jenisnya yang ditemukan dengan batu tembolok. Untuk menguji hipotesis ini, mereka mencoba membandingkan volume, kuantitas, dan ukuran batu tersebut dengan batu tembolok sejati yang teridentifikasi pada fosil burung lain. Mereka juga melakukan pemindaian CT terhadap Chromeornis untuk melihat fosil lebih dekat.
Para peneliti memeriksa fosil baru di bawah mikroskop. Kredit: Field Museum.
“Kami menemukan lebih dari 800 batu kecil di tenggorokan burung ini—jauh lebih banyak daripada yang kami perkirakan pada burung lain yang memiliki tembolok,” ujar O’Connor. “Dan berdasarkan densitasnya, beberapa dari ‘batu’ ini bahkan tidak sepenuhnya berupa batu; tampaknya lebih seperti bola-bola tanah liat mungil.”
Singkatnya, batu-batu ini tidak menjalankan fungsi pencernaan apa pun bagi burung tersebut. Jadi, tim mengajukan hipotesis lain: mungkinkah burung ini sedang sakit?
“Ketika burung sakit, mereka mulai melakukan hal-hal yang aneh,” jelas O’Connor. “Ia menelan terlalu banyak batu, dan mencoba memuntahkannya dalam satu gumpalan besar. Namun, gumpalan batu itu terlalu besar dan tersangkut di kerongkongannya.”
Perlu dicatat, temuan paleontologi sering kali terbuka untuk interpretasi, yang telah memicu banyak penemuan ulang selama bertahun-tahun. Di saat yang sama, ini berarti sebagian besar deskripsi fosil—termasuk yang satu ini—hanya mewakili pandangan satu tim. Perlu menunggu studi lanjutan dan analisis independen untuk melihat apakah komunitas paleontologi secara luas sepakat mengenai burung aneh ini dan cara kematiannya.
Dari Burung-Burung yang Telah Lama Punah
Kisah aneh sekaligus tragis Chromeornis ini, menurut para peneliti, berbicara tentang gambaran yang lebih besar mengenai kepunahan dan kelangsungan hidup di zaman prasejarah. Burung-burang dari kelompok yang sama dengan Chromeornis diduga merupakan kelompok burung paling banyak populasinya di babak akhir era dinosaurus.
Kemudian, tabrakan asteroid sekitar 66 juta tahun yang lalu memusnahkan semua dinosaurus non-avian, menyisakan burung-burung yang bertahan hingga hari ini.
“Memahami mengapa mereka sukses tetapi juga mengapa mereka rentan, dapat membantu kita memprediksi jalur kepunahan massal yang kita hadapi sekarang,” kata O’Connor. “Mempelajari Chromeornis dan burung-burung lain yang punah pada akhirnya dapat membantu membimbing upaya konservasi saat ini.”