Jakarta (ANTARA) – Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menekankan pentingnya regulasi untuk pekerja gig yang selama ini sering berada di posisi rentan, guna melindungi kesejahteraan dan penghasilan mereka.
“Dibalik fleksibilitas ekonomi gig, para pekerja menghadapi kerentanan yang tidak bisa diabaikan. Negara bertanggung jawab untuk memastikan mereka mendapat perlindungan yang memadai,” ujar Yassierli dalam pernyataannya di Jakarta, Selasa.
Ia mengungkapkan bahwa ekonomi gig telah menjadi kekuatan baru di pasar tenaga kerja Indonesia, dengan jumlah pekerja sekitar 4,4 juta di sektor transportasi, logistik, jasa kreatif, dan berbagai platform digital.
Namun, dia mengakui bahwa pertumbuhan pesat itu diiringi berbagai bentuk kerentanan.
Pekerja gig, jelas Yassierli, merupakan jenis pekerjaan informal atau paruh waktu yang berbasis platform digital, memungkinkan perusahaan memanfaatkan pekerja sementara atau freelancer untuk jangka pendek.
Jenis pekerja gig meliputi mitra pengemudi transportasi online, penulis konten, desainer grafis, pengembang perangkat lunak, dan kurir.
Oleh karena itu, Menteri menyetujui untuk mengusulkan agar pekerja gig dimasukkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Regulasi yang diusulkan mencakup hak-hak dasar yang setara dengan pekerja formal, seperti jaminan sosial (kesehatan, pensiun, asuransi kecelakaan kerja), upah yang adil, dan perjanjian kerja yang transparan.
Selanjutnya, regulasi juga mencakup penyelesaian perselisihan yang adil antara pekerja dan platform, termasuk yang menyangkut tarif, kualitas layanan, dan kondisi kerja.
“Platform digital juga diusulkan untuk memikul tanggung jawab, seperti memberikan asuransi kesehatan, pelatihan, transparansi penghasilan, dan sistem pembayaran yang tepat waktu,” katanya.