Bogor (ANTARA) – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menekankan pentingnya Disaster Pooling Fund (PFB) sebagai mekanisme pendanaan baru untuk daerah berisiko tinggi, termasuk Kabupaten Bogor dan wilayah rentan lainnya di Jawa Barat.
Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB, Zaenal Arifin, menyatakan bahwa PFB dikembangkan sebagai instrumen pelengkap untuk dana siap pakai dan hibah rehabilitasi serta rekonstruksi yang selama ini menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana.
Dia mencatat bahwa skema ini memungkinkan daerah mengakses dana pra-bencana, tanggap darurat, dan pasca-bencana dengan lebih cepat dan terukur.
"Pooling fund merupakan inovasi negara untuk memastikan ketersediaan sumber daya penanggulangan bencana," ujar Arifin dalam acara sosialisasi PFB di Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor, Kamis.
"Ini bukan menggantikan skema yang ada, tapi melengkapinya agar respons bencana bisa lebih cepat dan efektif," tambahnya.
Disaster Pooling Fund adalah dana bersama yang dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk APBN, APBD, hibah, donor, trust, dan kontribusi daerah. Dana ini dikelola secara terpusat.
Arifin menjelaskan bahwa pemerintah telah mengumpulkan dana PFB sebesar Rp7,3 triliun dan memperoleh return investasi Rp1,2 triliun per September 2025.
Dana dari return ini telah mulai disalurkan untuk kegiatan pra-bencana dan mekanisme transfer risiko melalui skema asuransi barang milik negara.
BNPB juga telah melakukan uji coba perdanan dengan empat kementerian dan dua pemerintah daerah, termasuk Kota Padang dan Kabupaten Minahasa, untuk mengkaji tata kelola dan mekanisme proposal PFB.
Mulai tahun 2026, pemerintah daerah yang tidak termasuk dalam program percontohan dapat mulai mengajukan proposal pendanaan.
Arifin mengatakan proposal akan diverifikasi bersama oleh empat kementerian, dengan prioritas pada dokumen pra-bencana seperti rencana kontinjensi, penilaian risiko, rencana penanggulangan bencana, dan kepatuhan terhadap standar pelayanan minimal.
Dari perspektif daerah, kebutuhan akan skema PFB ini sangat besar, terutama di Jawa Barat yang memiliki indeks risiko bencana tertinggi di Indonesia.
Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat, Edy Heryadi, menyebutkan bahwa Kabupaten Bogor mencatatkan jumlah kejadian bencana tertinggi di provinsi tersebut.
"Jawa Barat sangat membutuhkan pooling fund ini. Bogor yang paling berisiko, disusul Sukabumi, Cianjur, dan Kabupaten Bandung Barat. Beberapa daerah memiliki anggaran sangat terbatas, sementara penanganan bencana tidak bisa menunggu dana tersedia," kata Heryadi.
Dia berharap pemerintah daerah dapat memanfaatkan kesempatan untuk mengajukan pendanaan pada tahun 2026.
Dia menambahkan, peningkatan pendanaan melalui PFB sangat penting untuk mendukung penyusunan dokumen wajib seperti Kajian Risiko Bencana, rencana penanggulangan bencana, dan rencana kontinjensi, serta latihan, simulasi, dan pemulihan pasca-bencana, yang semuanya membutuhkan sumber daya besar.
"Dengan terbatasnya APBD dan kebijakan efisiensi tahun 2026, PFB akan sangat membantu. Kami telah mengikuti bimbingan teknis penyusunan proposal, dan begitu ada petunjuk dari pusat, Jawa Barat siap mengajukan," ujarnya.
BNPB dan Kementerian Keuangan saat ini sedang melakukan sosialisasi PFB secara serentak di empat provinsi dan akan menutup rangkaian kegiatan ini dengan penanaman 100.000 bibit di daerah aliran sungai kritis pada 21 November, bertepatan dengan Hari Pohon Sedunia.