Bogor, Jawa Barat (ANTARA) – Kementerian Perindustrian sedang berupaya agar sektor petrokimia ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia. Hal ini karena perannya yang sangat penting sebagai pemasok utama bahan baku plastik, serat sintetis, dan bahan kimia industri.
Direktur Industri Kimia Hulu pada Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Wiwik Pudjiastuti, mengatakan pada Jumat bahwa proposal ini sedang ditinjau oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Indonesia menghadapi kesenjangan yang terus-menerus antara produksi dan permintaan petrokimia dalam negeri, terutama untuk komoditas kunci yang menunjang industri hilir.
Untuk olefin seperti etilena dan propilena, utilisasi pabrik berada di angka 75 persen, tetapi pasokan tetap tidak mencukupi. Hanya untuk etilena saja, kekurangannya mencapai 800.000 ton, sehingga masih perlu impor.
Produk aromatik seperti p-xylene menunjukkan utilisasi yang lebih rendah lagi, yaitu 44 persen, dengan kesenjangan pasokan 500.000 ton. P-xylene sangat penting untuk memproduksi Purified Terephthalic Acid (PTA) yang digunakan dalam poliester dan PET.
Mono Ethylene Glycol (MEG), bahan baku vital lainnya untuk tekstil berbasis poliester, juga mengalami defisit sebesar 400.000 ton.
Sektor bahan baku plastik juga kesulitan memenuhi permintaan. Dari total kebutuhan nasional sebesar 4.879 KTA, hanya 2.957 KTA yang dipasok dari dalam negeri, sehingga masih ada celah 1.922 KTA.
Pada tahun 2024, impor polimer seperti polietilena dan polipropilena mencapai nilai US$2,9 miliar.
Wiwik menyoroti tantangan struktural, termasuk ketergantungan pada bahan baku impor seperti nafta dan LPG, serta terbatasnya integrasi antara kilang minyak dan pabrik petrokimia.
Untuk mengatasi masalah ini, kementerian memajukan kebijakan jangka panjang untuk meningkatkan akses bahan baku, merevisi regulasi perdagangan, dan mengusulkan penghapusan bea masuk.
Langkah-langkah tambahan termasuk perlindungan industri melalui bea anti-dumping dan safeguard, subsidi gas, akselerasi Industri 4.0, dan standar industri hijau.
Memperkuat integrasi hulu-hilir dan memperluas tingkat kandungan dalam negeri tetap menjadi prioritas utama.