Tingkatkan Daya Saing, Industri Dalam Negeri Didorong Hadapi Banjir Impor Baja

Kamis, 13 November 2025 – 07:21 WIB

Jakarta, VIVA – Industri baja dalam negeri sedang menghadapi tekanan yang sangat berat karena banyaknya produk impor yang masuk. Pemerintah bahkan sudah membuka pintu untuk investasi asing bagi para investor yang mau membangun pabrik di Indonesia.

Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, mengatakan bahwa sudah ada beberapa investor dari Eropa, China, dan Vietnam yang berminat memindahkan pabrik baja mereka ke Indonesia.

“Kami minta supaya mereka berinvestasi di Indonesia, bangun pabrik di sini, sehingga mereka juga bisa dapat akses ke pasar domestik,” ujar Faisol setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI, Senayan, Jakarta, seperti dikutip pada Kamis, 13 November 2025.

Menanggapi hal ini, seorang perwakilan pengusaha lokal, CEO PT Inerco Global International, Hendrik Kawilarang Luntungan, menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya fokus menarik investor asing.

Menurutnya, pemerintah juga harus lebih berupaya untuk menciptakan pengusaha-pengusaha baru di dalam negeri yang benar-benar fokus pada sektor manufaktur domestik.

“Harusnya pemerintah menciptakan pengusaha-pengusaha baru dengan bimbingan, seperti yang terjadi di China, Jepang, dan Korea dimana industri manufaktur mereka maju,” kata Hendrik.

“Karenanya pemerintah harus turun langsung membimbing agar sesuai dengan target pemerintah sendiri, untuk menjadikan Indonesia negara industri dalam 10 tahun ke depan,” ujarnya.

Hendrik menilai, akar masalahnya juga ada pada sistem penyaluran kredit perbankan. Masalah di Indonesia saat ini, menurutnya, terjadi karena kredit dari bank-bank besar hanya diberikan kepada pengusaha besar atau titipan politisi.

“Akibatnya, tidak ada pemerataan dan tidak lahir para pengusaha baru. Kebijakan ini membuat orang kaya makin kaya dan orang miskin serta menengah akan sulit masuk ke kategori orang kaya,” kata Hendrik.

MEMBACA  Seorang Anak Tewas dalam Serangan Malam di Kyiv, Total Tiga Korban Jiwa

Dia juga menekankan bahwa untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen, Indonesia membutuhkan konglomerasi-konglomerasi baru di luar yang sudah ada.

“Capek saja kita lihat ada mall baru atau hotel baru, kalau kita tanya punya siapa, selalu jawabannya dia lagi, dia lagi. Ini fakta,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hendrik mendesak perbankan, khususnya bank-bank BUMN, untuk merevolusi kebijakan kreditnya. Dia mengakui bahwa saat ini untuk meminjam uang ke bank, yang dilihat nomor satu bukan proyeknya, melainkan jaminannya.