Tragedi Ledakan SMAN 72: Diduga Akibat Gagalnya Penanganan Masalah Perundungan

Sabtu, 8 November 2025 – 23:00 WIB

Jakarta, VIVA – Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menyebut tragedi ledakan di SMAN 72 sebagai kegagalan kolektif negara dan masyarakat dalam memutus siklus perundungan atau bullying. Korban yang tidak tertolong akhirnya berubah menjadi pelaku.

Baca Juga:
Tekanan Ledakan di SMAN 72 Terbilang Besar, Pihak RS Ungkap Kondisi Para Korban

Konsultan dari Yayasan Lentera Anak itu menilai, insiden peledakan di SMAN 72 Jakarta Utara bukan hanya peristiwa kriminal biasa. Ini adalah cerminan kegagalan sistemik dalam menangani kasus bullying di lingkungan sekolah.

“Peledakan di SMAN 72 kita asumsikan berhubungan dengan bullying ya. Itu narasi yang sudah beredar luas,” ujar Reza.

Baca Juga:
Soal Temuan Baru di SMAN 72, Kapolri: Ada Serbuk dan Catatan Mencurigakan

Menurutnya, peristiwa tragis ini menambah daftar panjang bukti keterlambatan penanganan kasus perundungan di Indonesia.

Baca Juga:
Libatkan Densus 88, Polisi Usut Kaitan Ledakan di SMAN 72 dan Teror Bom Tangsel-Jakut

“Dari kerja-kerja saya di sejumlah organisasi perlindungan anak, saya harus katakan bahwa peristiwa di SMAN 72 adalah satu bukti tambahan tentang bagaimana kita lagi-lagi terlambat menangani perundungan,” tegasnya.

Reza menjelaskan, keterlambatan penanganan sering kali membuat korban bullying terjebak dalam siklus kekerasan yang berulang.

“Korban, setelah menderita sekian lama, akhirnya bertarung sendirian. Dalam waktu singkat statusnya bergeser menjadi pelaku kekerasan, pelaku brutalitas, dan julukan-julukan berat sejenisnya,” katanya.

Ia menyoroti fenomena yang disebutnya sebagai “viktimisasi berulang”:

  1. Saat anak dirundung oleh teman-temannya.
  2. Ketika korban mencari pertolongan namun justru diabaikan.

    “Oleh pihak-pihak yang seharusnya memberi bantuan, korban justru diabaikan. Masalahnya dianggap sepele dan biasa, dipaksa bertahan dan cuma disuruh berdoa,” ucap Reza.

    Pelaporan ke polisi pun, lanjutnya, tak selalu menjadi solusi.

    “Andai mereka melapor ke polisi, polisi boleh jadi memaksa korban untuk memaafkan pelaku dan secara sederhana menyebutnya sebagai restorative justice. Sehingga, terjadilah viktimisasi ketiga,” ujarnya.

    Puncaknya adalah saat korban yang sudah tidak tertolong akhirnya melakukan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

    “Belum sempat kita kasih pertolongan kepada dia selaku korban, justru hukuman berat yang akan kita berikan kepada dia sebagai pelaku. Getir dan menyedihkan,” tutur Reza.

    Lebih lanjut, ia mengungkap data yang menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku perundungan sebenarnya juga adalah korban.

    Halaman Selanjutnya
    Source : Freepik.com

MEMBACA  Mengalahkan Pertandingan Ini dengan Kesulitan