Merasa Lelah karena Perubahan Waktu? Inilah Saran Ahli untuk Kembali Bersemangat

Perubahan waktu jam bisa bikin kita kacau. Pergeseran satu jam saja, seperti yang baru terjadi di sebagian besar AS pada Minggu lalu, dapat membuat kita merasa lesu dan tidak sinkron selama beberapa hari. Ini karena jam biologis tubuh—yang dikenal sebagai ritme sirkadian—bergantung pada cahaya matahari, jadwal makan, dan rutinitas yang teratur. Saat perubahan waktu dua kali setahun terjadi, ritme ini terganggu dan memaksa tubuh untuk mengejar ketertinggalan.

Berita baiknya, dengan beberapa kebiasaan sederhana, kita bisa bantu tubuh cepat pulih dan mengatur ulang jadwal tidur secara alami setelah perubahan waktu. Ikuti tips berikut agar kembali bersemangat dan merasa normal lagi setelah jam diubah.

Apa Itu Daylight Saving Time?

Di AS, sebagian besar wilayah beralih antara waktu standar dan daylight saving time (DST) setiap November dan Maret. Waktu standar adalah waktu “normal” yang dipakai pada musim gugur dan dingin, sedangkan DST adalah pergeseran satu jam di musim semi dan panas yang memindahkan cahaya matahari dari pagi ke sore.

Setiap tahun, jam dimajukan satu jam pada Maret, dan kita kehilangan satu jam tidur. Lalu pada November, jam dipundurkan satu jam, mengembalikan jam tidur kita. Tujuannya adalah memaksimalkan jam siang untuk bekerja dan beraktivitas di bulan-bulan hangat.

Daylight saving time dimulai saat Perang Dunia I sebagai upaya menghemat energi. Lebih banyak cahaya di sore hari berarti mengurangi kebutuhan akan pencahayaan buatan, yang langka pada masa itu. Juga dianggap membantu petani dengan memberi mereka ekstra sinar matahari di sore hari. Namun, karena kerja pertanian mengikuti matahari, bukan jam, justru malah mempersulit jadwal mereka.

Lebih dari satu abad kemudian, sebagian besar warga AS masih mengikuti ritual yang sama. Pengecualian termasuk Hawaii dan sebagian besar Arizona, di mana banyaknya sinar matahari dan suhu panas gurun membuat perubahan waktu lebih merepotkan daripada membantu.

MEMBACA  Ide Berani Apple untuk Aplikasi Tanpa Kode yang Dibangun dengan Siri - Hype atau Harapan?

Mengapa Perubahan Waktu Mengacaukan Jam Biologis

Kita cenderung fokus pada lamanya tidur, tapi konsistensi tak kalah penting, ujar Rebecca Robbins, peneliti tidur di Brigham and Women’s Hospital dan Harvard Medical School. “Sama pentingnya—bahkan mungkin lebih—adalah konsistensi jadwal tidur,” katanya. “Perubahan satu jam saja sudah cukup untuk mengacaukan sirkuit internal kita.”

Ritme sirkadian mengandalkan isyarat seperti cahaya, makanan, dan rutinitas. Cahaya sangat krusial di sini karena menekan melatonin, hormon yang memberi tahu otak bahwa sudah waktunya tidur. Saat siang hari bergeser, hormon kita pun ikut berubah.

Ritme ini tak cuma mengatur rasa lelah. Ia juga mengendalikan pencernaan, kewaspadaan, suasana hati, bahkan respons imun. Saat kita memajukan jam, pada dasarnya kita memaksa jam tubuh tidak sinkron dengan lingkungan. Mengundurkan jam lebih ringan efeknya, karena tambahan jam tidur dan cahaya pagi biasanya membantu ritme kita menyesuaikan diri lebih mudah.

Dampak Kesehatan Akibat Kurang Tidur

Dampak pergeseran waktu bisa muncul hampir seketika. “Kecelakaan mobil, serangan jantung, masalah kardiovaskular, gangguan suasana hati—semua ini cenderung meningkat selama durasi daylight saving time berlangsung,” jelas ahli saraf dan spesialis tidur W. Chris Winter dari Charlottesville Neurology and Sleep Medicine. Sebuah studi dari University of Colorado menemukan bahwa tabrakan mobil fatal di AS melonjak sekitar 6 persen dalam minggu setelah peralihan ke DST di musim semi.

Sebagian besar warga AS sudah kekurangan tidur. “Hanya 30 persen warga AS yang melaporkan secara konsisten memenuhi kebutuhan biologis akan tidur,” kata Robbins. Kehilangan satu jam tambahan hanya memperburuk keadaan.