Posisi Indonesia terhadap Israel Uji Keadilan dalam Olahraga Global

Bayangkan atlet Israel bertanding di Kejuaraan Senam Artistik Dunia 2025 di Jakarta, di saat kemarahan global terhadap negara Zionis itu mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ketegangan ini bukan hanya muncul karena tindakan genosida Israel di Gaza, tetapi juga karena penolakannya terhadap lembaga-lembaga internasional, termasuk Majelis Umum PBB dan Mahkamah Internasional (ICJ).

ICJ telah mengklasifikasikan aksi Israel di Gaza sebagai genosida, yang menyebabkan dikeluarkannya perintah penangkapan internasional untuk beberapa pemimpinnya, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Dewan Ahli PBB bahkan melangkah lebih jauh dengan mendesak FIFA dan UEFA untuk menangguhkan Israel dari kompetisi sepak bola serta meminta perusahaan global menghentikan perdagangan dengan Israel akibat kekejaman di Gaza.

Sementara beberapa negara memilih bungkam, Indonesia mengambil posisi yang berbeda. Sikap Indonesia tidak hanya dibentuk oleh prinsip-prinsip konstitusional, tetapi juga oleh solidaritas emosional dan historis yang mendalam dengan Palestina.

Namun, implikasi dari menerima atlet Israel tidak hanya bersifat politis—hal ini dapat memicu gejolak di seluruh negeri.

Protes massa hampir dipastikan akan meledak di Jakarta dan kota-kota lain jika pesenam Israel diizinkan untuk bertanding.

Berita terkait: CAS menolak upaya Israel untuk ikut kejuaraan senam di Indonesia

Indonesia pernah mengalami reaksi serupa pada tahun 2023 ketika menolak partisipasi Israel dalam Piala Dunia U-20 FIFA, yang akhirnya membuat FIFA memindahkan acara tersebut ke Argentina.

Para pembuat kebijakan kemungkinan besar telah memperkirakan kekacauan seperti ini akan terulang, di mana protes berpotensi meningkat menjadi kekerasan atau gejolak politik yang lebih luas.

Bahkan, hanya dua bulan sebelum kejuaraan, Indonesia sudah menyaksikan demonstrasi keras yang ditandai dengan penjarahan, pembakaran, dan vandalisme.

MEMBACA  Daftar Aplikasi Penghasil Uang Rp100 Ribuan, Bisa Transfer ke Rekening atau Jadi Saldo DANA

Dalam konteks ini, keputusan Jakarta untuk memblokir partisipasi Israel mungkin didorong oleh keinginan untuk menjaga stabilitas maupun untuk menjunjung prinsip.

Sikap Indonesia ini juga sejalan dengan seruan internasional untuk mengisolasi Israel di bidang olahraga. Dewan Ahli PBB telah merekomendasikan larangan serupa dengan yang pernah diterapkan terhadap Afrika Selatan pada masa apartheid beberapa dekade lalu.

Pada tahun 1962, Indonesia sendiri telah melarang atlet Israel dalam Asian Games, menunjukkan konsistensi dengan kebijakan luar negerinya yang telah lama dipegang.

Banyak pengamat internasional kini menyamakan perlakuan Israel terhadap warga Palestina dengan apartheid, sebuah sistem pemisahan ras dan penindasan.

Menurut The Times of Israel, lebih dari 68.000 orang—kebanyakan perempuan dan anak-anak—telah tewas di Gaza, dan sekitar 83 persen bangunan di wilayah tersebut hancur. Akses bantuan kemanusiaan masih terhambat meskipun ada gencatan senjata yang rapuh.

Berita terkait: Indonesia dapat dukungan FIG setelah tolak visa untuk pesenam Israel

Kehancuran di Gaza, menurut para kritikus, bahkan melebihi kekejaman Afrika Selatan di era apartheid. Bahkan, Afrika Selatan sendiri yang membawa kasus genosida terhadap Israel ke ICJ.

Komite Olimpiade Internasional (IOC) pernah mengambil tindakan tegas terhadap rezim serupa dengan melarang Afrika Selatan mengikuti Olimpiade antara tahun 1964 dan 1992 karena kebijakan apartheidnya.

IOC tidak ragu untuk memberlakukan sanksi dengan alasan non-olahraga. Mereka melarang Rhodesia (sekarang Zimbabwe) dari Olimpiade Munich 1972 karena pemisahan ras, dan mengeluarkan Afghanistan dari Olimpiade Sydney 2000 karena larangan Taliban terhadap perempuan.

Preseden-preseden ini menunjukkan bahwa keprihatinan moral dan kemanusiaan telah membimbing keputusan IOC di masa lalu.

Namun, dalam hal Israel, respons IOC tampak redup. Kemarahan global atas diskriminasi, pemisahan ras, dan genosida di Gaza tidak mengakibatkan pertanggungjawaban yang serupa.

MEMBACA  Jadwal Mobil SIM Keliling DKI Jakarta, Depok, Bandung, Bekasi Sabtu 25 Mei 2024

Negara-negara Barat seperti Spanyol bahkan telah mendesak penangguhan Israel dari kompetisi internasional, tetapi badan-badan olahraga dunia sebagian besar tetap diam.

IOC dan federasi lainnya bertindak cepat terhadap Rusia setelah temuan ICJ bahwa pasukan Rusia mendeportasi warga Ukraina dan melakukan kekejaman di Bucha. Sanksi melarang tim dan atlet Rusia dari banyak acara internasional.

Ketidakkonsistenan ini mencolok: Rusia menghadapi sanksi menyeluruh, sementara Israel terus bebas bertanding meskipun menghadapi tuduhan yang sebanding.

Meskipun peringatan IOC kepada Indonesia untuk tidak mengadakan acara besar—yang secara efektif memblokirnya dari tawaran Olimpiade di masa depan—disampaikan sebagai tindakan prosedural, hal ini memunculkan pertanyaan tentang keadilan dan standar ganda.

Penolakan Indonesia untuk mengeluarkan visa kepada atlet Israel untuk kejuaraan senam telah dinyatakan sah oleh Pengadilan Arbitrasi untuk Olahraga (CAS), yang menolak gugatan Israel.

Jika CAS dapat mengakui hak berdaulat Indonesia untuk bertindak sesuai dengan prinsip konstitusional dan moralnya, maka IOC harus menerapkan logika yang sama secara universal. Konsistensi, bukan penegakan aturan yang selektif, adalah yang menegakkan kredibilitas tata kelola olahraga global.

Indonesia mungkin memang perlu merenungkan bagaimana menyeimbangkan prinsip politiknya dengan partisipasi dalam olahraga internasional. Namun, IOC dan badan olahraga global lainnya juga harus menghadapi kontradiksi mereka sendiri.

Jika mereka mengklaim membela hak asasi manusia dan kesetaraan, mereka tidak bisa menutup mata terhadap genosida, diskriminasi, dan apartheid di Gaza.

Kurang dari itu, menurut banyak orang Indonesia, akan membuka Gerakan Olimpiade terhadap kemunafikan yang justru ingin diperanginya sejak awal.

Berita terkait: Anggota DPR desak larangan atlet Israel dari kejuaraan Jakarta 2025

Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2025