Di Lahore dan Karachi, Pakistan — Tubuh mungil Abdul Hadi Nadir dengan cepat melemah begitu demam menyerang. Kulitnya menguning, ia berhenti makan, dan ibunya, Rimsha Nadir, tahu persis apa artinya – saatnya untuk mendapatkan darah lagi.
Di sebuah klinik yang sepi namun penuh sesak di Lahore, Rimsha mendekap putranya yang berusia tiga setengah tahun sambil duduk di antara keluarga lain beserta anak-anak mereka.
Abdul Hadi adalah salah satu yang termuda di ruangan itu. Di sekelilingnya, anak-anak duduk dengan tenang, beberapa terhubung ke infus dan sedang menerima transfusi darah. Di dekatnya, seorang ibu duduk di bagian kaki kursi malas putranya yang berusia 12 tahun, dengan lembut memijat kakinya.
Rimsha menidurkan putranya di sebuah kursi di sampingnya dan memberikan ponselnya. Si balita pun sejenak teralihkan oleh sebuah video di hari yang panjang yang mengharuskannya untuk diam.
Rimsha menantikan transfusi darah yang akan memulihkan energi putranya, walau hanya untuk beberapa minggu saja.
“Setelah dapat [darah],” ujar perempuan 22 tahun itu dengan lembut, “baru dia mau makan apa saja.”
Ini adalah rutinitas yang sangat dipahami Rimsha – kunjungan bulanan yang membentang dari pagi hingga petang, serta beban emosional menyaksikan anaknya terombang-ambing antara kesakitan dan kelangsungan hidup.
Baru berusia sembilan bulan, Abdul Hadi didiagnosis menderita thalassaemia mayor beta – bentuk paling parah dari kelainan darah genetik yang menyebabkan tubuh memproduksi hemoglobin abnormal, sehingga mengakibatkan anemia kronis. Kondisi ini memerlukan transfusi darah – satu-satunya pengobatan yang diketahui.
Rimsha sebenarnya telah mengetahui tentang thalassaemia sebelum putranya didiagnosis. Keponakan suaminya meninggal karenanya pada usia sembilan tahun. Orang tua anak itu tidak mampu membawanya ke klinik untuk transfusi rutin, dan sebelum meninggal, ia membutuhkan transfusi baru setiap tiga hari.
Meski begitu, Rimsha tetap berpegang pada harapan untuk masa depan anaknya. “Dia akan sekolah, dia akan jadi dokter, Insya Allah,” katanya dengan suara lirih.
Di Pakistan, sekitar 100.000 orang terdaftar di rumah sakit sebagai pasien thalassaemia mayor, dan lebih dari 5.000 anak lahir dengan penyakit ini setiap tahunnya, meskipun tidak ada data berapa banyak yang meninggal akibat gangguan tersebut. Namun, di sebuah negara dimana harapan hidup rata-rata untuk anak yang lahir dengan penyakit ini hanya 10 tahun, keluarga seperti keluarga Rimsha terperangkap dalam siklus tanpa henti untuk mengamankan transfusi darah rutin.
Abdul Hadi Nadir, usia tiga tahun, menunggu transfusi darah di Lahore [Urooba Jamal/Al Jazeera]
Gangguan genetik
Pakistan merupakan bagian dari “sabuk thalassaemia” – suatu area dengan prevalensi penyakit yang tinggi membentang di sebagian Afrika, Mediterania, Timur Tengah, anak benua India, Asia Tenggara, Melanesia, dan Kepulauan Pasifik.
Menurut para peneliti, prevalensi tinggi ini bisa jadi merupakan respons genetik untuk perlindungan terhadap malaria. Gangguan ini lebih umum ditemui di wilayah-wilayah dimana malaria masih atau pernah menyebar luas.
Thalassaemia mayor adalah kelainan genetik paling umum di Pakistan, menurut studi European Journal of Human Genetics pada 2021.
Rimsha dan suaminya mengetahui bahwa mereka adalah pembawa penyakit ini hanya setelah putra mereka didiagnosis. Sebagai pembawa, mereka memiliki sifat thalassaemia atau thalassaemia minor, artinya mereka memiliki gen yang bermutasi pada kromosom yang diwarisi dari ibu atau ayah mereka. Penderita thalassaemia mayor memiliki mutasi dari kedua orang tua.
Rimsha Nadir dan putranya Abdul Hadi [Rida Jamal/Al Jazeera]
Menurut Fatimid Foundation, sebuah LSM Pakistan yang menangani thalassaemia dan gangguan darah lainnya melalui bank darah dan pusat pengobatan, perkiraan tingkat kepembawaan di negara tersebut adalah 5 hingga 7 persen. Ini berarti sekitar 13 hingga 18 juta pembawa di negara dengan penduduk lebih dari 251 juta jiwa.
Para pembawa tidak mengidap penyakitnya dan biasanya tanpa gejala, tetapi dapat menghasilkan anak dengan thalassaemia mayor yang akan memerlukan transfusi darah seumur hidupnya.
“Jika kedua orang tua adalah pembawa, dalam setiap kehamilan ada peluang 25 persen seorang anak terlahir dengan thalassaemia mayor,” kata Dr. Haseeb Ahmad Malik, direktur medis Noor Thalassemia Foundation, tempat Abdul Hadi dan lainnya menerima transfusi gratis.
Saat duduk di dalam kantornya yang berperabot sederhana, dokter tersebut menjelaskan bahwa kehamilan antara dua pembawa memiliki peluang 25 persen menghasilkan bayi tanpa gen bermutasi, sementara ada peluang 50 persen keturunannya akan menjadi pembawa penyakit tersebut.
Dr. Haseeb Ahmad Malik, direktur medis Noor Thalassemia Foundation di Lahore [Urooba Jamal/Al Jazeera]
Mengumpulkan keluarga untuk menyumbang darah
Malik berjalan menyusuri koridor panjang tempat anak-anak menerima transfusi mereka, banyak dari mereka menatap ke depan dalam diam, sambil menyapa pasien-pasien mudanya. Dia mengenal semua nama mereka, dan Abdul Hadi menciapkan tawa saat melihatnya.
Bagi Rimsha dan suaminya, perjalanan dengan mobil ke klinik memakan waktu setengah jam. Tetapi bagi banyak pasien Malik yang tinggal di daerah pinggiran Lahore dan bepergian dengan transportasi umum yang tidak andal, perjalanan itu bisa menjadi panjang dan melelahkan. Sebagian besar pusat pengobatan di Pakistan terletak di kota-kota besar, membatasi akses bagi masyarakat di daerah pedesaan, kata Malik.
Bahkan bagi mereka yang memiliki akses rutin ke klinik, darah sering kali langka di Pakistan. Donasi cenderung menurun drastis selama bulan puasa Ramadan, peristiwa cuaca ekstrem, dan krisis seperti pandemi COVID-19, jelas dokter itu.
Namun, akses telah membaik selama bertahun-tahun.
Salah satu sistem donasi darah sukarela pertama di negara ini didirikan oleh Fatimid Foundation pada tahun 1978.
“Sebelum ini, orang-orang yang putus asa akan menjual darah mereka di luar rumah sakit,” jelas ketua yayasan, Moinuddin Haider, seorang pensiunan jenderal tentara Pakistan dan mantan menteri dalam negeri dari tahun 1999 hingga 2002.
Kakak laki-laki Haider, yang juga berada di ketentaraan, memiliki dua putra dengan penyakit tersebut.
“Setiap kali dia pulang dari penugasan militernya, dia akan mengumpulkan keluarga untuk meminta darah … dan kami dulu bertanya-tanya, penyakit apa ini yang mengharuskan kami semua untuk menyumbangkan darah,” kenang Haider, berbicara kepada Al Jazeera di Karachi.
Hanya satu dari keponakan-keponakan itu yang masih hidup hari ini di usia 40 tahun, katanya. Namun, dia menambahkan, LSM-LSM yang berupaya mengelola penyakit ini telah mengubah hidup dalam beberapa dekade terakhir, dimana di masa lalu banyak yang meninggal di masa kanak-kanak awal.
“Masa hidup mereka telah meningkat. Sekarang mereka ada yang menikah,” jelasnya, sambil menambahkan bahwa yayasannya mendorong para pasien untuk terus belajar dan bekerja serta tidak merasa terbatas oleh penyakitnya.
“Kita telah menempuh perjalanan panjang.”
Muhammad Ahmad Dildar, 22 tahun, datang ke Yayasan Noor untuk menerima darah dua kali sebulan [Urooba Jamal/Al Jazeera]
Masa Depan Tanpa Impian
Kembali ke Yayasan Noor, waktu telah lewat pukul 2 sore, dan Muhammad Ahmad Dildar sedang menunggu gilirannya untuk menerima darah yang menjaganya tetap hidup.
Pemuda 22 tahun itu memperkenalkan diri dengan senyum lebar menampakkan gigi sambil duduk di kantor Malik.
Selama sembilan tahun terakhir, Muhammad telah datang ke klinik ini sendirian. Ia mengatakan orang tuanya – yang adalah sepupu pertama dan pembawa penyakit – menanamkan disiplin padanya untuk melakukannya.
Sejak diagnosis Muhammad pada usia tiga bulan, ia tidak pernah melewatkan satu janji temu pun.
Orang tuanya sangat tepat waktu dalam memberikannya obat yang ia butuhkan untuk membuang kelebihan zat besi dari transfusi darah guna menghindari kerusakan organ.
“Banyak upaya baik yang telah dilakukan olehnya dan orang tuanya,” kata Malik, menambahkan bahwa orang tua Muhammad juga meminta anggota keluarga untuk mendonorkan darah ketika stok di klinik menipis.
Muhammad adalah salah satu pasiennya yang “paling patuh”, ujarnya, seraya menjelaskan bagaimana upaya pasien merupakan kunci untuk memastikan hidup yang lebih panjang. Namun, kurangnya kesadaran atau pendidikan menghalangi banyak orang di Pakistan untuk mencari perawatan yang memadai, menurutnya.
Muhammad datang ke klinik dua kali sebulan, menempuh perjalanan 15 menit dengan mobil yang ia gunakan untuk bekerja, mengemudi untuk aplikasi transportasi online lokal.
Ia tahu waktunya untuk berkunjung ketika gejalanya muncul kembali.
“Tekanan darah saya turun, saya demam, punggung saya sakit,” jelas Muhammad, menyibakkan rambutnya dari matanya saat berbicara. Ia berhenti sejenak. “Hidup ini sangat sulit.”
Dia adalah satu-satunya dari lima bersaudara yang mengidap penyakit ini. Tanpa transfusi, ia rentan terhadap serangkaian infeksi, yang pernah membuatnya terbaring di tempat tidur selama lebih dari enam bulan sekaligus dan memaksanya putus sekolah di kelas sembilan.
Muhammad menyadari bahwa usianya telah melampaui rata-rata harapan hidup pasien talasemia mayor di Pakistan.
Wajahnya muram ketika ditanya tentang masa depannya. “Terkadang saya sangat takut,” katanya, suaranya tercekat. “Saya merasa bisa mati kapan saja.”
Dia mengatakan tidak membuat rencana apa pun untuk jangka panjang jauh ke depan, dan bersyukur masih hidup.
“Saya tidak pernah memikirkan impian untuk diri sendiri … tidak sama sekali,” ujarnya. “Saya akan terus menerima darah dan terus hidup.”
Di dalam Yayasan Noor, tempat anak-anak dan remaja menerima transfusi darah [Urooba Jamal/Al Jazeera]
Mencari Kesembuhan
Mudassir Ali yang berusia tiga belas tahun dibesarkan beberapa jam ke arah utara, di kota terbesar ketiga Pakistan, Rawalpindi.
Dia didiagnosis menderita talasemia mayor ketika berusia 16 bulan.
“Saya tidak bisa bermain seperti anak-anak lainnya,” kenangnya dalam sebuah wawancara telepon. “Saya lebih mudah kehabisan napas, lebih mudah lelah.”
Sebuah foto Mudassir saat balita menunjukkan dirinya terhubung dengan beberapa kanula, lengan baju sweternya yang berbulu berwarna merah muda dan kuning dengan penutup kepala digulung untuk selang plastik yang membentang dari pergelangan tangan, dada, dan perutnya.
Tapi sudah bertahun-tahun ia tidak membutuhkan alat-alat ini – remaja ini termasuk segelintir kecil orang di negara itu yang berhasil sembuh total dari talasemia melalui transplantasi sumsum tulang.
Meskipun banyak transplantasi di Pakistan dilakukan pada pasien talasemia, jumlah operasinya tetap rendah karena kurangnya pendanaan dan sumber daya, menurut studi 2023 dalam Journal of Transplantation oleh Pakistan Bone Marrow Transplant Group.
Pada tahun 2021, 118 operasi transplantasi dilakukan pada pasien talasemia, dan 88 pada tahun 2022, temuan studi tersebut.
Mudassir berusia empat tahun ketika menerima transplantasi.
Ayahnya, Muhammad Naeem Anjum, bertekad untuk menyembuhkan putranya sejak didiagnosis.
“Saya punya satu misi, membuat putra saya sembuh,” kata pegawai pemerintah berusia 44 tahun itu.
Ayah dari enam anak ini menghabiskan tahunan mengantar putranya dari satu dokter ke dokter lain, sementara Mudassir menjalani tes demi tes.
Akhirnya, dia mengetahui tentang opsi transplantasi – satu-satunya jalan kesembuhan, meski berisiko dan mahal.
“Saya pergi ke tiga dokter … mereka bilang ada peluang 80 persen bahwa [transplantasi] bisa berhasil,” tutur Anjum. “Jika usianya semakin tua – seperti 14, 15 tahun – peluang [keberhasilan] akan turun menjadi 60 persen atau kurang.”
Menurut Dr. Syed Waqas Imam Bokhari, dokter utama transplantasi sumsum tulang di Shaukat Khanum Memorial Cancer Hospital and Research Centre di Lahore, transplantasi ini paling berhasil pada anak kecil dengan talasemia karena risikonya meningkat seiring usia.
Prosedurnya melibatkan penggantian sel punca pembentuk darah tubuh yang rusak dengan yang sehat dari donor yang diambil dari tulang panggul atau aliran darah. Pasien kemudian menjalani mieloablasi – di mana sumsum tulang dihancurkan untuk memberi jalan bagi sel-sel baru, seringkali melalui kemoterapi, seperti dalam kasus Mudassir – sebelum sel-sel donor dimasukkan ke dalam aliran darah mereka. Sel-sel ini kemudian menemukan jalan ke sumsum tulang dan, jika berhasil, memproduksi sel darah sehat baru.
Mudassir Ali ingat ketidakmampuannya bermain seperti anak lain saat kecil [Courtesy of Muhammad Naeem Anjum]
‘Dia Akan Sembuh’
Tapi prosedur ini membawa risiko.
Infeksi adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi. Lalu ada kegagalan cangkok, yang dapat terjadi pada lima hingga 10 persen kasus pasien di bawah usia tujuh tahun, menurut Bokhari. “Jumlah sel darah tidak pulih dengan sel-sel baru dan sel-sel lama kembali, atau jumlah sel darah pulih, tetapi kemudian … jumlahnya turun lagi,” jelasnya, menambahkan bahwa kemungkinan hal ini terjadi juga meningkat seiring usia.
Risiko lain adalah penyakit graft-versus-host, di mana sel-sel baru – bagian dari sistem kekebalan baru – “melancarkan reaksi terhadap inang”, kata Bokhari. Sementara itu, penolakan cangkok adalah kebalikannya, dimana sistem kekebalan pasien menyerang sel-sel yang ditransplantasikan.
Sementara keluarga terus membawa Mudassir ke rumah sakit, dimana mereka menjaganya saat ia tertidur selama transfusi malam hari, Anjum menyelidiki biaya prosedur tersebut.
Pada tahun 2014, dokter-di Karachi, yang kadang dikunjunginya untuk bekerja, memberikan perkiraan biaya 2,4 hingga 2,6 juta rupee (sekitar $23.000 hingga $25.000 pada waktu itu) untuk prosedur tersebut. Saat ini, seiring dengan melesunya perekonomian negara dan merosotnya nilai rupee, biayanya mendekati 5 hingga 7 juta rupee (sekitar $17.600 hingga $24.700), menurut Bokhari.
Biaya-biaya ini tidak terjangkau bagi kebanyakan orang di Pakistan, dimana produk domestik bruto (PDB) per kapitanya kurang dari $1.500, merujuk pada angka Bank Dunia 2024.
Namun, seorang dokter menyarankan Anjum untuk menelusuri prosedur tersebut di sebuah rumah sakit militer di Rawalpindi, dimana biayanya sedikit lebih rendah, dan sebagai pegawai negeri, pekerjaannya akan menanggung 80 persen dari biaya.
Anjum tetap teguh pendirian, bahkan ketika kerabat dan teman-teman yang memiliki anak dengan penyakit itu mencoba mematahkan semangatnya, menyebutnya sebagai pemborosan keuangan dan bersikeras bahwa anak-anak seperti Mudassir tidak pernah pulih sepenuhnya.
“Kamu menyia-nyiakan uangmu,” kenangnya mereka berkata kepadanya.
“Aku bilang, ‘Insya Allah, dia akan membaik’,” kata Anjum.
Langkah selanjutnya, karenanya, adalah mencari donor.
Mudassir (L) dan saudaranya Musaddiq [Courtesy of Muhammad Naeem Anjum]
### Kecocokan Sempurna
Risiko terbesar dalam transplantasi adalah penolakan cangkok, kata Bokhari.
“Secara genetik, hanya ada satu keadaan dimana sistem kekebalan satu orang bisa hampir persis sama dengan orang lain – yaitu pada kembar identik… kembar identik,” jelasnya.
Dalam prosedur transplantasi, menemukan donor dengan gen human leukocyte antigen (HLA) yang sangat cocok – krusial untuk regulasi sistem kekebalan – adalah hal yang esensial, kata Bokhari. Ia menambahkan bahwa saudara kandung seringkali merupakan kecocokan yang paling kompatibel.
“Untuk setiap saudara kandung, ada peluang satu dari empat bahwa kita akan menemukan donor yang benar-benar cocok,” ujar dokter tersebut.
Dalam kasus dimana pasien tidak memiliki saudara kandung atau ketika tidak ada saudara kandung yang cocok, menemukan donor tidak terkait yang cocok adalah mungkin. Tetapi di Pakistan, yang tidak memiliki registri donor yang besar dan mapan, hal itu hampir mustahil, kata Bokhari.
“Di Barat, ada registri yang sangat besar,” tambahnya.
Dua dari saudara kandung Mudassir ternyata merupakan kecocokan yang baik. Salah satunya, adik lelakinya yang saat itu berusia sembilan tahun, Musaddiq, adalah kecocokan 100 persen.
Mudassir menerima transplantasi sumsum tulangnya pada April 2016. Dari hari pertama setelah operasinya, ia mulai menunjukkan perbaikan. Hampir satu dekade kemudian, Mudassir telah pulih sepenuhnya. Dia tidak memerlukan transfusi darah satu pun sejak transplantasi.
Suara Anjum tercekat ketika mengingat sebuah momen, tak lama setelah operasi, ketika Musaddiq berkata kepadanya, “Sekarang kakak kita sudah lebih baik, dia bisa bermain dengan kita.”
Kini, Mudassir bercita-cita menjadi dokter suatu hari nanti untuk memberikan kesempatan hidup kedua yang sama kepada anak-anak lain. “Orang lain juga seharusnya bisa mendapatkan operasi itu,” katanya.
Bagian luar klinik Noor Foundation [Urooba Jamal/Al Jazeera]
### Beban Keluarga
Namun, bagi ribuan anak dan remaja di seluruh Pakistan seperti Abdul Hadi dan Muhammad, kesembuhan dari thalassaemia mayor melalui transplantasi sumsum tulang sama sekali tidak terjangkau.
Beberapa rumah sakit dan organisasi yang dijalankan amal menawarkan transplantasi sumsum tulang gratis, tetapi jumlah yang dapat mereka lakukan setiap tahunnya dibatasi oleh ketersediaan dana, jelas Bokhari.
Di rumah sakitnya sendiri yang didukung donor, contohnya, 71 transplantasi sumsum tulang dilakukan pada tahun 2024, dan hanya satu dari jumlah itu yang untuk pasien thalassaemia mayor.
Lebih lanjut, dokter itu menyoroti, kedua belas pusat transplantasi di negara tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien transplantasi.
“Jadi itu tidak sepadan… sama sekali,” ujarnya.
Malik dari Noor Foundation meyakini harus ada kampanye nasional untuk mendorong skrining pra-nikah – dilakukan melalui tes darah – di antara pasangan untuk menguji gen pembawa penyakit ini.
Hal ini dapat membantu pasangan mengambil keputusan yang tepat – apakah itu berarti memilih untuk tidak menikah dengan pembawa lainnya atau merencanakan jauh-jauh hari untuk kemungkinan memiliki anak dengan thalassaemia mayor. Terdapat beberapa program skrining di empat provinsi negara ini, namun Malik mengatakan seringkali, jika pasangan menemukan mereka berdua adalah pembawa penyakit, hal itu tidak mempengaruhi keputusan mereka untuk menikah atau memiliki anak, terutama dalam pernikahan yang diatur.
“Ikatan keluarga sangat kuat di sini – jika suatu pernikahan sudah ditetapkan… mereka tidak akan mengingkari komitmennya,” jelasnya.
Untuk saat ini, orang tua dari ribuan anak dengan thalassaemia mayor di seluruh Pakistan memikul beban mengelola penyakit ini sembari mencari transfusi darah untuk menjaga anak-anak mereka tetap hidup.
Di Lahore, Rimsha akan terus membawa anak balitanya ke klinik Noor dan berharap transfusi berikutnya akan berlalu tanpa komplikasi.