Pimpinan Pertahanan Ungkap Kerentanan Infrastruktur Usang Amerika

Salah satu CEO perusahaan pertahanan top Amerika bilang, ancaman terbesar buat keamanan nasional bukan teknologi, musuh, atau sumber daya—tapi karena strategi pertahanan AS sudah jadi anachronistic (ketinggalan jaman).

Dia berbicara di konferensi Fortune’s Most Powerful Women. CEO SAIC Toni Townes-Whitley jelasin bahwa perang sekarang ini kurang tentang konflik konvensional. "Tempat-tempat yang dulu ada laut luas antara kita dan musuh, sekarang bukan lagi batas seperti dulu," katanya. Dia bilang AS punya musuh yang beroperasi di dunia siber dan angkasa, bukan cuma darat, laut, dan udara. Pesannya: AS masih perlu kerja keras untuk bisa bertahan dari musuh seperti ini.

Selama 57 tahun, SAIC sudah berada di titik temu antara teknologi komersial dan misi yang sangat kompleks. Dia lihat musuh Amerika beroperasi dalam banyak cara. "Salah satu hal yang mungkin bikin kita susah tidur di dunia pertahanan adalah fakta bahwa musuh bisa pakai seluruh basis industri mereka," ujarnya.

Itu tidak sepenuhnya terjadi di AS, tambahnya. Basis industrinya sudah jadi ketinggalan jaman. Basis industri itu sudah menua jadi kemampuan warisan. "Kita belum lihat urgensi sinyal bahwa kita sebenarnya perlu libatkan semua basis industri kita." Jawaban yang agak ‘nerdy’ adalah, kita bisa atasi penolakan Amerika untuk bertindak seperti musuhnya dengan menghubungkan semuanya bersama menggunakan data.

Urgensi dan Modernisasi

Modernisasi bukan cuma beli perangkat keras tercanggih, kata CEO SAIC itu. Ini tentang memikirkan ulang kebijakan lama, integrasi teknologi baru, dan gabungkan sistem warisan terbaik dengan inovasi digital cepat. Dia tunjukkan, meski ada kemajuan pesat di bidang seperti digital engineering dan AI untuk medan perang, sistem dasarnya masih kurang urgensi.

MEMBACA  Apakah Kinerja Saham D.R. Horton Tertinggal dari S&P 500?

Untuk gambarkan masalahnya, CEO ini jelaskan sebuah latihan dari pemimpin militer: "Apakah saya akan lakukan ini dalam perang?" Dia dan timnya pakai gelang bertuliskan WIDTW—"Would I Do This In War?"—sebagai pengingat harian untuk bertindak dengan kecepatan dan keseriusan seperti dalam krisis sungguhan. Meski negara bisa bergerak cepat saat ada ancaman besar, mempertahankan energi itu di masa damai—dengan musuh yang mengintai dengan cara tidak jelas—jauh lebih sulit.

Dia desak perlu perubahan budaya, dan menjauhi istilah dan konsep dari masa lalu. "Saya berpendapat bahwa kata-kata yang kita pakai pun sudah ketinggalan jaman. Defense industrial base saya sarankan beralih menjadi national security innovation ecosystem," katanya. Perubahan ini tentang memanfaatkan startup kecil dan raksasa teknologi, membangun sistem plug-and-play yang bikin inovasi berbasis misi bisa tumbuh.

Interoperability, tambahnya, sering jadi "kata yang paling tidak seksi sekarang di keamanan nasional, tapi paling penting." Karena perang koalisi jadi norma, mengintegrasikan data di banyak partner—yang punya platform dan level klasifikasi berbeda—bisa bedakan antara sukses dan gagal. Dia tunjuk Sistem Pertahanan Rudal Golden Dome dan operasi NORAD sebagai contoh di mana integrasi simulasi dan digital twin tunjukkan kolaborasi bisa efektif jika dilakukan dengan benar.

Solusi Nyata, Bukan Cuma Retorika

CEO ini tekankan peran perusahaannya dalam mendukung war fighter dengan menggabungkan pengalaman lama dan teknologi tercanggih. Sepertiga tenaga kerja SAIC adalah veteran, dan dua per tiga punya izin keamanan—tanda keterlibatan mendalam dengan realitas misi. Tapi kesuksesan butuh lebih dari sekedar kredensial.

Negara harus kembangkan ekosistem yang lincah, berbasis teknologi, dan bersatu. Upaya modernisasi harus dipercepat dengan digital engineering, simulasi skenario, dan fokus mendesak pada hambatan akar penyebab, yang banyak disebabkan kebijakan bukan teknologi.

MEMBACA  CEO Todd Kahn: Kemenangan di Pasar Tiongkok Berkat Desain Amerika

"Namanya, kita bisa berdebat tentang nama. Fokus saya adalah mendukung war fighter dalam semua yang kita lakukan. Bahasa kita, tindakan kita, sumber daya kita, anggaran kita, semua mendukung war fighter," simpul CEO tersebut.

Fortune Global Forum kembali pada 26–27 Oktober 2025 di Riyadh. CEO dan pemimpin global akan berkumpul untuk acara invitation-only yang membentuk masa depan bisnis. Apply for an invitation.