DNA Kulit Manusia Dibuahi untuk Bentuk Embrio Pertama Kali

James Gallagher
Koresponden Kesehatan dan Sains

Para ilmuwan AS untuk pertama kalinya menciptakan embrio manusia tahap awal dengan memanipulasi DNA yang diambil dari sel kulit manusia lalu membuahinya dengan sperma.

Teknik ini berpotensi mengatasi masalah infertilitas akibat usia lanjut atau penyakit, dengan memanfaatkan hampir semua sel dalam tubuh sebagai titik awal kehidupan.

Bahkan, metode ini memungkinkan pasangan sesama jenis untuk memiliki anak yang masih memiliki hubungan genetik.

Namun, metode ini masih memerlukan penyempurnaan signifikan—yang dapat memakan waktu hingga satu dekade—sebelum klinik fertilitas dapat mempertimbangkan penggunaannya.

Para ahli menyatakan bahwa ini merupakan terobosan yang mengesankan, namun perlu ada diskusi terbuka dengan publik mengenai segala kemungkinan yang dapat diwujudkan oleh sains.

Reproduksi dahulu merupakan cerita sederhana: sperma pria bertemu sel telur wanita. Keduanya bergabung membentuk embrio, dan sembilan bulan kemudian, seorang bayi lahir.

Kini, para ilmuwan mengubah aturan tersebut. Eksperimen terbaru ini berawal dari kulit manusia.

Tim peneliti dari Oregon Health and Science University mengambil nukleus—yang menyimpan salinan keseluruhan kode genetik untuk membentuk tubuh—dari sebuah sel kulit.

Nukleus ini kemudian ditempatkan ke dalam sel telur donor yang telah dilucuti instruksi genetiknya.

Sejauh ini, tekniknya mirip dengan yang digunakan untuk menciptakan Dolly si Domba—mamalia hasil kloning pertama di dunia—yang lahir pada 1996.

Lingkaran besar adalah sel telur yang dilihat di bawah mikroskop; titik putih di bagian bawah adalah materi genetik yang diambil dari sel kulit dan ditempatkan di dalamnya.

Namun, sel telur ini belum siap untuk dibuahi oleh sperma karena ia sudah mengandung satu set kromosom lengkap.

Manusia mewarisi 23 bundel DNA dari setiap orang tua, total menjadi 46, yang sudah dimiliki sel telur ini.

MEMBACA  Ide Baru Roku untuk Menampilkan Iklan Saat Anda Berhenti Bermain Video Game Sangat Mengerikan

Karena itu, tahap berikutnya adalah membujuk sel telur untuk membuang separuh kromosomnya dalam proses yang disebut para peneliti sebagai "mitomeiosis"—sebuah gabungan dari mitosis dan meiosis, dua cara sel membelah.

Studi yang diterbitkan dalam Nature Communications itu menunjukkan bahwa 82 sel telur fungsional berhasil dibuat. Sel-sel ini kemudian dibuahi dengan sperma, dan beberapa di antaranya berkembang hingga tahap awal embrio. Tidak ada yang berkembang melampaui tahap enam hari.

"Kami mencapai sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil," ujar Prof. Shoukhrat Mitalipov, direktur pusat terapi sel dan gen embrio di OHSU.

Namun, teknik ini masih jauh dari sempurna karena sel telur memilih kromosom mana yang akan dibuang secara acak. Ia perlu menyisakan satu dari setiap jenis dari 23 kromosom untuk mencegah penyakit, tetapi hasilnya justru ada yang ganda dan ada yang hilang.

Tingkat keberhasilannya juga masih rendah (sekitar 9%), dan kromosom melewatkan proses penting saat mereka menyusun ulang DNA mereka, yang disebut crossing over.

Prof. Mitalipov, seorang pelopor ternama di bidang ini, menyatakan, "Kami harus menyempurnakannya. Pada akhirnya, saya yakin ke sanalah arah masa depan karena semakin banyak pasien yang tidak dapat memiliki anak."

Teknologi ini merupakan bagian dari bidang yang tengah berkembang, yaitu pembuatan sperma dan sel telur di luar tubuh, yang dikenal sebagai gametogenesis in vitro.

Pendekatan ini masih berada pada tahap penemuan ilmiah, bukan penggunaan klinis, namun tujuannya adalah membantu pasangan yang tidak dapat menjalani IVF karena tidak memiliki sperma atau sel telur yang memadai.

Metode ini dapat membantu wanita lanjut usia yang tidak lagi memiliki sel telur yang layak, pria dengan produksi sperma rendah, atau penyintas kanker yang menjadi infertil akibat pengobatan.

MEMBACA  Kesehatan, pendidikan untuk menentukan masa depan Indonesia: Bill Gates

Bidang ini juga menulis ulang aturan tentang keorangtuaan. Teknik yang dijelaskan ini tidak harus menggunakan sel kulit wanita—bisa juga menggunakan sel kulit pria.

Ini membuka peluang bagi pasangan sesama jenis untuk memiliki anak yang masih memiliki hubungan genetik dengan kedua pasangan. Misalnya, pada pasangan pria, kulit satu pria dapat digunakan untuk membuat sel telur, yang kemudian dibuahi oleh sperma pasangannya.

"Selain memberikan harapan bagi jutaan orang dengan infertilitas akibat kurangnya sel telur atau sperma, metode ini memungkinkan pasangan sesama jenis memiliki anak yang masih memiliki hubungan genetik dengan keduanya," jelas Prof. Paula Amato dari OHSU.

Membangun Kepercayaan Publik

Roger Sturmey, profesor kedokteran reproduksi di University of Hull, menyatakan bahwa temuan ini "penting" dan "mengesankan".

Ia menambahkan, "Pada saat yang sama, penelitian semacam ini menegaskan pentingnya terus melakukan dialog terbuka dengan publik tentang kemajuan baru dalam penelitian reproduksi."

"Terobosan seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya tata kelola yang kuat, untuk memastikan akuntabilitas dan membangun kepercayaan publik."

Prof. Richard Anderson, wakil direktur Pusat Kesehatan Reproduksi MRC di University of Edinburgh, menyatakan bahwa kemampuan menghasilkan sel telur baru "akan menjadi kemajuan besar".

"Ada kekhawatiran keamanan yang sangat penting, tetapi studi ini merupakan langkah menuju membantu banyak wanita memiliki anak genetik mereka sendiri," ujarnya.