Di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah Indonesia secara resmi meluncurkan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) pada 6 Januari tahun ini. Presiden menetapkan inisiatif ini sebagai prioritas nasional utama dengan satu tujuan besar: meningkatkan asupan gizi semua anak usia sekolah di seluruh Indonesia.
Program ini tidak hanya untuk anak-anak saja. Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, pemerintah mengalokasikan dana besar agar MBG juga bermanfaat bagi ibu menyusui, ibu hamil, dan balita. Presiden Prabowo berulang kali menekankan bahwa pemenuhan kebutuhan gizi kelompok-kelompok ini sangat penting untuk menciptakan generasi emas yang mampu memajukan bangsa.
Sejauh ini, MBG telah menjangkau lebih dari 30 juta penerima di seluruh negeri, didukung oleh berdirinya sekitar 10.000 dapur khusus yang secara resmi disebut Unit Layanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Meski skalanya besar, program ini baru-baru ini mendapat sorotan publik—bukan karena jangkauannya, tetapi karena laporan yang mengaitkannya dengan keracunan makanan di beberapa daerah.
Kasus paling menonjol terjadi pada September 2025, ketika lebih dari seribu orang dilaporkan mengalami masalah kesehatan setelah mengonsumsi makanan MBG di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Ini menandai insiden terbesar sejak peluncuran program dan memicu kekhawatiran nasional.
Pemeriksaan laboratorium kemudian mengungkapkan bahwa makanan telah memburuk dan menjadi tidak layak makan pada saat sampai ke penerima. Temuan ini menguatkan dugaan publik bahwa pelaksanaan program andalan ini masih dinodai oleh kelemahan di beberapa area.
Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN)—lembaga yang bertanggung jawab mengeksekusi dan mengawasi MBG—mengonfirmasi bahwa sebagian besar kasus keracunan makanan bersumber dari SPPG yang tidak mematuhi standar lembaga, terutama dalam hal pengadaan bahan makanan, proses memasak, dan waktu distribusi.
Sementara BGN mewajibkan dapur untuk memproses bahan dalam waktu dua hari setelah pengadaan, beberapa dapur ternyata menundanya hingga hari keempat. Lebih parah lagi, beberapa dapur dilaporkan membutuhkan waktu hingga 12 jam untuk memasak dan mendistribusikan makanan, jauh melebihi standar empat hingga enam jam.
Tanggapan Evaluasi
Kekurangan ini mendorong pemerintah menggelar konferensi pers pada 28 September, mengumumkan langkah-langkah sebagai tanggapan atas keprihatinan publik. Di antaranya adalah mewajibkan SPPG untuk memiliki sertifikat higiene dan sanitasi, melakukan uji keamanan pangan sebelum distribusi, menangguhkan dapur bermasalah, mengerahkan puskesmas untuk pengawasan yang lebih kuat, dan mengevaluasi juru masak.
Ahli gizi Mochammad Rizal, yang sedang menempuh gelar doktor ilmu gizi di New York, mengatakan kepada ANTARA bahwa makanan MBG harus sampai ke penerima segera setelah dimasak untuk mencegah kerusakan akibat bakteri. Ia menunjuk jarak distribusi yang jauh, kurangnya kontrol suhu di kendaraan pengangkut, dan ketidaksesuaian antara kapasitas dapur dengan permintaan sebagai faktor kunci di balik masalah yang berulang.
“Membungkus makanan saat masih panas justru mempercepat kerusakan, tapi membiarkannya terbuka terlalu lama meningkatkan risiko kontaminasi bakteri dan virus,” jelasnya. Rizal menekankan bahwa kompleksitas ini menegaskan kebutuhan untuk perbaikan menyeluruh terhadap program tersebut.
Perbaikan tidak hanya harus menangani operasional dan kapasitas SPPG, tetapi juga koordinasi di seluruh aspek, mulai dari pengadaan, memasak, distribusi, dan pengawasan mutu. Manajemen yang lebih kuat dianggap penting untuk mencegah kasus makanan basi dan keracunan lebih lanjut.
Idealnya, SPPG harus beroperasi dengan pembagian tugas yang jelas dan dikelola oleh tenaga kerja yang berkualifikasi serta menjalani pelatihan yang tepat. Pendekatan seperti ini akan memperkuat struktur organisasi dan memastikan kepatuhan yang konsisten terhadap standar keamanan pangan—hal yang crucial jika MBG ingin memenuhi misinya meningkatkan asupan gizi.
Yang sama pentingnya adalah menyesuaikan kapasitas tenaga kerja dengan permintaan produksi. Di beberapa daerah, seorang ahli gizi single ditugaskan untuk mengawasi ribuan porsi makanan setiap harinya—beban kerja yang tidak realistis.
“Ahli gizi bukan hanya merancang menu. Mereka juga harus memeriksa kualitas bahan, memantau proses memasak, dan mengawasi distribusi. Melakukan semua itu sendirian adalah mustahil tanpa tim pendukung yang andal,” tegas Rizal.
Ketidakseimbangan ini, menurutnya, telah menyebabkan penerapan diet seimbang yang tidak konsisten di setiap daerah. Postingan media sosial menyoroti standar gizi yang tidak merata, dengan beberapa menyebutkan keterbatasan anggaran dan yang lain menunjuk pada akses terbatas ke pasokan makanan di daerah tertentu. Bagaimanapun juga, pendekatan satu-untuk-semua tampaknya tidak praktis untuk program yang menjangkau negara seluas dan seberagam Indonesia.
Diet Seimbang
Mengenai diet seimbang, Rizal menekankan bahwa makanan MBG harus menghindari makanan ultra-olahan dan sebagai gantinya menyajikan karbohidrat, protein, dan nutrisi yang proporsional dari sumber hewani, nabati, dan buah-buahan. Ia juga mencatat bahwa porsi makanan harus disesuaikan dengan kelompok usia penerima, karena kebutuhan anak sekolah dasar berbeda dengan anak SMP atau SMA.
“Memang menantang untuk memproduksi makanan secara massal namun tetap menyesuaikan porsi dengan kelompok usia. Itulah sebabnya kita membutuhkan standar porsi yang jelas,” ujarnya.
Di luar logistik dan gizi, program ini juga harus menghadapi kebiasaan makan para penerima. Banyak anak sekolah di Indonesia terbiasa dengan jajanan instan dan makanan siap saji. Menyajikan mereka makanan sehat setiap hari, meski diperlukan, berisiko membuat mereka tidak berselera dan bisa berujung pada pemborosan jika menunya terasa asing.
Rizal menyarankan agar alih-alih melakukan perubahan drastis, pemerintah sebaiknya bergerak secara bertahap menuju standar gizi yang diinginkan untuk MBG. “Kita bisa mulai dari menu sederhana ala keluarga yang sudah familiar bagi anak-anak,” katanya, sambil merekomendasikan edukasi gizi yang berkelanjutan.
Dengan cara ini, para siswa dapat beradaptasi secara bertahap dengan makanan yang lebih sehat tanpa merasa asing. Strategi semacam ini akan membantu mengurangi limbah dan menumbuhkan budaya makan sehat.
Sementara banyak langkah perbaikan untuk pengiriman MBG telah diusulkan, satu ide sentral tetap ada: kesuksesan program ini bergantung pada sinergi. Eksekusi yang efektif membutuhkan kolaborasi tidak hanya antar lembaga pemerintah, tetapi juga antara otoritas, pelaku usaha, ahli, dan masyarakat luas.
Jika kerjasama lintas sektor ini dapat terwujud, Indonesia memiliki peluang lebih kuat untuk mewujudkan janji utama MBG—memelihara generasi yang lebih sehat, kuat, dan kompetitif, membawa bangsa semakin dekat ke era emasnya sebagai negara maju.