Insentif mobil listrik dan tujuan mengurangi polusi udara

Jakarta (ANTARA) – Indonesia terus mendorong penggunaan kendaraan listrik (EV) dengan impian langit yang lebih biru dan udara yang lebih bersih dengan polusi yang lebih rendah di negara ini. Harapan ini adalah yang diusahakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk diwujudkan sebagai “konduktor” dalam “orkestra” pengembangan industri EV di Indonesia. Namun, beliau tidak menyangkal fakta bahwa transportasi bahan bakar fosil bukan satu-satunya penyumbang polusi udara di Indonesia. Pandjaitan memastikan bahwa berbagai kebijakan dari kementerian dan lembaga berjalan selaras, sehingga impian mengubah kebiasaan masyarakat dari menggunakan kendaraan bahan bakar fosil menjadi EV bisa terwujud. Populasi EV di Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan signifikan. Berdasarkan data Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) Kementerian Perhubungan per 22 Januari 2024, yang disajikan oleh Direktur Industri Maritim, Peralatan Transportasi, dan Peralatan Pertahanan Kementerian Perindustrian Hendro Martono, terjadi peningkatan sebesar 262 persen dalam populasi EV berbasis baterai roda dua di Indonesia pada tahun 2023. Pada tahun 2022, jumlah sepeda motor listrik di Indonesia adalah 17.198 unit, yang meningkat menjadi 62.409 unit pada tahun 2023. Peningkatan ini merupakan manifestasi dari keberhasilan program bantuan pemerintah untuk pembelian sepeda motor listrik, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah untuk Pembelian Kendaraan Listrik Berbasis Baterai Roda Dua. Demikian pula, populasi mobil listrik juga menunjukkan pertumbuhan, meskipun tidak sebesar sepeda motor listrik. Jumlah EV empat roda pada tahun 2023 meningkat sebesar 43 persen, dari 8.562 unit pada tahun 2022 menjadi 12.248 unit pada tahun 2023. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai program insentif, peningkatan jumlah mobil listrik tidak cukup untuk mendorong industri mobil listrik di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah telah merancang program insentif baru, yaitu insentif bea masuk dan pajak penjualan barang mewah. Insentif tersebut berlaku untuk impor mobil listrik dalam kategori Completely Built-Up (CBU) dan Completely Knocked Down (CKD). Program insentif diatur dalam Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pedoman dan Tata Kelola Pemberian Insentif Impor serta Penyerahan Mobil Listrik Berbasis Baterai Empat Roda dalam Konteks Pemercepatan Investasi. Peraturan tersebut mencakup tiga jenis insentif pajak dalam setiap skema impor mobil listrik. Insentif diberikan kepada perusahaan yang berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia. Skema pertama adalah untuk perusahaan yang mengimpor mobil lengkap atau CBU. Untuk mobil lengkap, pemerintah membebaskan perusahaan dari bea masuk dan pajak penjualan barang mewah, dan mereka hanya perlu membayar PPN sebesar 11 persen dari harga jual. Dengan demikian, pajak kumulatif hanya sebesar 11 persen. Skema ini membutuhkan jaminan bank dan komitmen dari perusahaan untuk memproduksi mobil listrik di Indonesia, di mana jumlahnya sama dengan jumlah mobil listrik yang diimpor, dengan rasio 1:1. Jaminan bank adalah jaminan pembayaran yang diberikan kepada pihak yang menerima jaminan jika pihak yang dijamin tidak memenuhi kewajibannya. Terkait hal ini, Deputi Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin menjelaskan bahwa insentif impor hanya berlaku hingga tahun 2025. Perusahaan yang telah berkomitmen untuk berinvestasi diharapkan mulai memproduksi mobil secara aktif di Indonesia paling lambat awal tahun 2026. Insentif impor akan berakhir pada tahun 2026, sehingga tahun 2026-2027 merupakan periode bagi perusahaan untuk mengejar target produksi untuk jumlah mobil yang diimpor dalam periode 2024-2025. Meskipun Kaimuddin menetapkan 2026-2027 sebagai periode produksi, beliau tetap mendorong perusahaan mobil listrik untuk memulai produksi secepatnya saat mereka siap. Jika pada periode 2028-2029, sebuah perusahaan mobil listrik gagal mencapai target produksi, perusahaan harus mengembalikan dana insentif pemerintah sebesar selisih antara mobil yang diimpor dan yang diproduksi secara domestik melalui jaminan bank. Misalnya, jika sebuah perusahaan mengimpor lima ribu mobil listrik dalam periode 2024-2025 namun hanya mampu memproduksi tiga ribu mobil listrik di Indonesia pada periode 2026-2027, maka perusahaan harus mengembalikan insentif pajak mobil listrik kepada pemerintah senilai dua ribu mobil listrik melalui jaminan bank. Dengan demikian, jaminan bank memainkan peran dalam memastikan bahwa perusahaan yang mengimpor mobil listrik ke Indonesia berkomitmen pada pengembangan industri EV negara ini. Skema kedua adalah untuk perusahaan yang mengimpor mobil listrik dengan bagian lengkap namun belum dirakit, atau yang berada dalam kategori CKD dengan tingkat komponen domestik di bawah persyaratan dalam rancangan jalan. Persyaratan komponen domestik berdasarkan rancangan jalan adalah minimal 40 persen hingga 2026, minimal 60 persen pada 2027-2029, minimal 80 persen pada 2030, dan seterusnya. Untuk perusahaan yang mengimpor mobil listrik dengan skema kedua, pemerintah membebaskannya dari bea masuk dan pajak penjualan barang mewah dan hanya meminta mereka membayar PPN sebesar 11 persen dari harga jual. Dengan demikian, pajak kumulatif dalam skema kedua sama dengan skema pertama, yaitu 11 persen. Skema ketiga berlaku untuk perusahaan yang mengimpor mobil listrik dengan kondisi CKD dengan tingkat komponen domestik yang telah memenuhi persyaratan dalam rancangan jalan. Dalam skema ini, pemerintah membebaskan perusahaan dari bea masuk dan pajak penjualan barang mewah dan hanya meminta mereka membayar PPN sebesar satu persen dari harga jual, berbeda dengan skema lain yang PPN-nya 11 persen. Insentif PPN sebesar 10 persen diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang PPN atas Penyerahan Beberapa Mobil Listrik Berbasis Baterai Empat Roda dan Beberapa Bus Listrik Berbasis Baterai yang Dibebankan oleh Pemerintah untuk Tahun Anggaran 2024. Dengan demikian, pajak kumulatif dalam skema ketiga hanya satu persen. Persyaratan untuk skema ketiga mengacu pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 36 Tahun 2021 tentang Kendaraan Beremisi Karbon Rendah, atau LCEV, yang mengatur persyaratan untuk program LCEV dan meliputi investasi, tingkat komponen domestik, serta aspek teknis kendaraan lainnya. Ketiga skema tersebut mencerminkan komitmen berbagai kementerian dan lembaga terkait untuk mengembangkan industri EV di negara ini guna mewujudkan udara yang lebih bersih bagi semua warga negara. Berita terkait: Penjualan EV roda dua Indonesia melonjak 262 persen pada 2023 Berita terkait: Pemerintah menawarkan insentif bagi investor yang bersedia membangun pabrik EV Berita terkait: Mobil listrik adalah masa depan industri otomotif Indonesia: Jokowi Copyright © ANTARA 2024.

MEMBACA  Ketakutan yang Menginspirasi Elon Musk dan Sam Altman untuk Membuat OpenAI