Sabtu, 13 September 2025 – 06:03 WIB
Jakarta, VIVA – Laporan terbaru tunjukkan lulusan perguruan tinggi tahun 2025 menghadapi pasar kerja yang paling susah dalam lima tahun terakhir.
Baca Juga :
Pemerintah Siapkan Stimulus 8+4 Bagi Fresh Graduate Magang hingga Ojol
Sebanyak 33 persen lulusan 2025 tercatat menganggur dan masih aktif cari pekerjaan, sementara cuma 30 persen lulusan yang berhasil dapet pekerjaan penuh waktu sesuai bidang studinya.
Temuan itu berasal dari Cengage Group 2025 Graduate Employability Report, sebuah laporan nasional yang nyorot penyempitan jalur rekrutmen dan kesenjangan kemampuan praktis yang bikin transisi lulusan baru ke dunia kerja makin berat.
Baca Juga :
10.000 Pekerjaan ‘Lenyap’ dalam 3 Bulan Terakhir, Sektor Ini Paling Terpukul
Survei ini dilakukan online pada Juni–Juli 2025 ke 865 manajer perekrutan, 698 instruktur pendidikan tinggi, dan 971 lulusan baru di seluruh Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan survei, sebanyak 76 persen pemberi kerja ngaku mereka rekrut jumlah karyawan entry-level sama atau lebih sedikit dibanding tahun lalu.
Baca Juga :
AI Bikin Pekerjaan Entry Level Nyusut, Gen Z Terancam Kena PHK hingga Susah Cari Kerja
Angka ini naik dari 69 persen di 2024. Penyebabnya antara lain kondisi pasar tenaga kerja yang ketat (51 persen), perkembangan teknologi AI (46), dan tekanan ekonomi global (46).
Kondisi ini sangat beda sama 2022, waktu itu 65 persen pemberi kerja justru ngaku susah nemuin talenta entry-level. Sekarang, cuma 35 persen yang bilang hal yang sama.
Selain itu, persyaratan gelar formal meningkat lagi. Sebanyak 71 persen perusahaan sekarang wajibkan gelar untuk posisi entry-level, naik dari 55 persen di 2024.
Efeknya, kesempatan kerja buat lulusan makin terbatas, di antaranya:
– 30 persen lulusan 2025 dapet pekerjaan sesuai jurusan (turun dari 41 persen di 2024)
– 26 persen kerja di bidang lain yang ga sesuai jurusan
– 33 persen masih nganggur dan aktif cari kerja
CEO Cengage Group, Michael Hansen, bilang, perlu ada penyesuaian dalam sistem pendidikan.
“Kesenjangan kesiapan karier yang melebar, ditambah kebutuhan upskilling karena teknologi kayak AI, bikin kita harus mikir ulang cara bekalin pelajar supaya siap kerja,” katanya, seperti dikutip dari Forbes, Sabtu, 13 September 2025.
Laporan ini juga nyorot adanya perbedaan persepsi. Pengusaha anggap kemampuan teknis itu yang paling penting, tapi pendidik malah lebih tekankan soft skills kayak berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Akibatnya, banyak lulusan yang merasa ga siap hadapi pasar kerja. Hampir setengah (48 persen) lulusan 2025 ngaku ga percaya diri lamar kerja sesuai bidang, sementara cuma 51 persen yang merasa cukup kuasai kemampuan AI untuk cari kerja.
SVP of Research Cengage Group, Kimberly Russell, jelasin, untuk hadapi ini, penting banget ada sinergi.
“Riset kami tunjukkin sebagian besar pendidik percaya muridnya siap kerja, tapi lulusan malah bilang sebaliknya. Kalau ga ada penyelarasan, kesenjangan tenaga kerja akan terus terjadi,” katanya.
Walaupun 79 persen pendidik setuju mahasiswa butuh pengalaman AI sebelum lulus, cuma 37 persen yang anggap ngajar kemampuan itu adalah tanggung jawab mereka.
Selain itu, faktor koneksi sekarang juga makin nentukan hasil cari kerja. Lulusan nilai referensi pribadi (25 persen), magang atau pengalaman kerja (22), dan kemampuan wawancara (20) lebih berperan daripada cuma gelar (17).
Tapi, 20 persen lulusan ngaku program pendidikan mereka ga bantu bangun koneksi profesional.
Lebih dari sepertiga (36 persen) berharap kampus bisa bantu cari kerja, sementara 35 persennya berharap institusi lebih aktif jalin kemitraan dengan dunia usaha.
“Sistem pengembangan tenaga kerja ada di titik persimpangan. Dengan taruh employability di pusat pembelajaran, kita bisa pastiin lulusan siap bukan cuma untuk pekerjaan pertama, tapi juga karier jangka panjang,” kata Hansen.
Halaman Selanjutnya
Source : Freepik