Kegagalan Diplomasi Usai Serangan Israel terhadap Pemimpin Hamas di Qatar

Jeremy Bowen
Editor Internasional

CCTV Rekam Momen Serangan Israel terhadap Para Pemimpin Hamas di Doha

Hampir tepat setahun silam, saya mewawancarai Khalil al-Hayya, pemimpin dan negosiator utama Hamas, di Doha. Saya menemui dia di sebuah rumah tak jauh dari gedung yang diserang Israel pada Selasa sore.

Sejak awal perang di Gaza, al-Hayya merupakan negosiator utama Hamas, mengirim dan menerima pesan kepada pihak Israel dan Amerika melalui perantara Qatar dan Mesir.

Pada momen-momen gencatan senjata dikira akan tercapai, al-Hayya, bersama dengan para pria yang juga menjadi target serangan siang ini, hanya berjarak dekat dari delegasi Israel dan Amerika. Saat diserang, al-Hayya dan para petinggi Hamas lainnya tengah membahas proposal diplomatik terbaru Amerika untuk mengakhiri perang di Gaza dan membebaskan sanderra Israel yang tersisa.

Pernyataan cepat Israel tentang apa yang telah mereka lakukan langsung memicu spekulasi di media sosial bahwa proposal Amerika terbaru hanyalah akal-akalan untuk mengumpulkan pimpinan Hamas dalam satu tempat agar dapat disasar.

Pada tanggal 3 Oktober tahun lalu, ketika Khalil al-Hayya berjalan masuk ke lokasi pertemuan kami di sebuah vila sederhana berlantai rendah, saya terkejut dengan keamanannya yang sangat minim. Kami harus menyerahkan ponsel, dan beberapa pengawal menyertainya masuk ke dalam rumah.

Di luar, polisi Qatar berpakaian preman duduk merokok di dalam sebuah SUV. Hanya itu saja. Seratus pengawal pun takkan mampu menghentikan serangan udara, tetapi al-Hayya dan anak buahnya tampak santai dan percaya diri.

Intinya, Qatar seharusnya menjadi tempat yang aman, dan mereka merasa cukup nyaman untuk bergerak dengan relatif terbuka.

Beberapa bulan sebelumnya, pada 31 Juli 2024, Israel telah membunuh Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas, di Tehran, saat ia menghadiri pelantikan Presiden Masoud Pezeshkian.

MEMBACA  Pengemudi yang membunuh puluhan dalam serangan mobil di Cina dieksekusi

Dengan berkecamuknya perang di Gaza, saya sempat bertanya-tanya apakah berbahaya duduk satu ruangan dengan Khalil al-Hayya. Namun sama seperti dia, saya kira Qatar adalah zona terlarang.

Dalam beberapa dekade terakhir, Qatar telah berusaha memahat posisinya sebagai Swiss-nya Timur Tengah, sebuah tempat di mana bahkan musuh pun dapat membuat kesepakatan.

Orang Amerika bernegosiasi dengan Taliban Afganistan di Doha. Dan dalam hampir dua tahun sejak serangan pada 7 Oktober 2023, Qatar telah menjadi pusat upaya diplomatik untuk merundingkan gencatan senjata dan bahkan mungkin mengakhiri perang.

Upaya perdamaian, yang diusung oleh utusan Presiden Trump, Steve Witkoff, sudah sangat goyah. Kini, usaha itu hancur berantakan. Dalam kata-kata seorang diplomat senior Barat, “tidak ada diplomasi sama sekali.”

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mengatakan kepada orang-orang Israel bahwa musuh mereka takkan pernah bisa tidur nyenyak dan membayar harga atas perintah serangan 7 Oktober.

Reuters
Pemimpin dan Negosiator Utama Hamas Khalil al-Hayya

Ofensif Israel di Gaza semakin mengumpulkan pace. Beberapa jam sebelum serangan di Doha, militer Israel, IDF, memerintahkan seluruh warga Palestina di Kota Gaza untuk pergi dan pindah ke selatan. Diperkirakan sekitar satu juta warga sipil dapat terdampak.

Dalam komentar televisinya, Netanyahu mengatakan kepada warga Palestina di Gaza, “jangan disesatkan oleh para pembunuh ini. Perjuangkan hak-hak dan masa depan kalian. Berdamailah dengan kami. Terima proposal Presiden Trump. Jangan khawatir, kalian bisa melakukannya, dan kami dapat menjanjikan masa depan yang berbeda, tetapi kalian harus menyingkirkan orang-orang ini. Jika kalian lakukan, tidak ada batas untuk masa depan kita bersama.”

Jika warga Palestina di Gaza dapat mendengar kata-katanya, pesan itu akan terdengar sangat hampa. Israel telah menghancurkan rumah ratusan ribu dari mereka, juga rumah sakit, universitas, dan sekolah.

MEMBACA  Israel mengabaikan upaya UNSC untuk 'menghentikan pembunuhan' demi melanjutkan serangan Rafah | Berita Gaza

Dengan Gaza telah dilanda kelaparan, bencana kelaparan di Kota Gaza sendiri, dan malapetaka kemanusiaan di seluruh wilayah, perpindahan paksa lebih banyak orang hanya akan meningkatkan tekanan mematikan Israel terhadap warga sipil.

Israel telah membunuh lebih dari 60.000 warga Palestina di Gaza, yang mayoritas adalah warga sipil. Netanyahu sendiri menghadapi surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional untuk kejahatan perang, dan Israel sedang diselidiki oleh Mahkamah Internasional untuk kasus genosida.

Serangan di Doha adalah pertanda bahwa Netanyahu dan pemerintahannya akan mendorong sekuat tenaga di semua front, tidak hanya Gaza. Mereka yakin bahwa dengan dukungan Amerika, militer mereka dapat memaksakan kehendak mereka.

Serangan Doha menuai teguran langka dari Gedung Putih. Qatar adalah sekutu berharga, yang menjadi tuan rumah pangkalan militer AS yang besar dan merupakan investor utama di AS.

Namun Netanyahu tampaknya memperhitungkan bahwa Donald Trump, satu-satunya pemimpin yang ia rasa harus didengarnya, akan puas dengan teguran diplomatik yang setara dengan jewatan di jari.

Ofensif Israel di Gaza berlanjut. Dan seiring dengan rencana pengakuan kemerdekaan Palestina di PBB pada akhir bulan ini oleh Inggris, Prancis, Kanada, Australia, dan negara-negara Barat lainnya, sekutu kabinet ultranasionalis Netanyahu akan menggandakan seruan untuk merespons dengan aneksasi wilayah Palestina yang diduduki di Tepi Barat.