Selama satu abad terakhir, baik pemikir Muslim maupun non-Muslim telah memusatkan diskusi reformis mereka pada dekolonisasi. Banyaknya buku, artikel, dan seminar tentang topik ini telah mencapai titik jenuh. Muslim terlibat dalam perdebatan ini untuk memahami bagaimana meraih kembali relevansi global, jika bukan pengaruh. Mereka kesulitan menentukan di mana dan bagaimana agenda Muslim menyimpang dari jalurnya. Kolonisasi negara-negara Muslim menjadi sasaran kritik dan demonisasi yang paling mudah dijangkau. Akibatnya, pemikir Muslim abad ke-20 begitu terfokus pada proses dekolonisasi. Menganalisis akar kemunduran dan disintegrasi kita memang langkah penting untuk koreksi diri dan kebangkitan. Namun, pertanyaannya adalah: seberapa jauh kita telah maju sebagai Ummat dengan terus mengulang analisis usang yang hanya menyisakan rasa pahit? Ke mana sebenarnya pembicaraan tentang dekolonisasi ini membawa kita?
Boleh dibilang, ini telah mendorong kita mengejar upaya agresif untuk mensekulerkan nilai-nilai Muslim dan memprioritaskan hal-hal yang salah, seperti mendorong sebuah negara masuk Piala Dunia, membangun gedung pencakar langit tertinggi, menggelar festival musik, mengeluarkan miliaran untuk merekrut pemain sepakbola top dunia, dan menyelenggarakan balap Formula Satu. Sebagai tambahan, ada juga apresiasi terhadap pendidikan, yang sering direduksi menjadi mengimpor universitas Barat ke dunia Muslim. Kontribusi besar Ismail al-Faruqi, filsuf Muslim terkemuka yang memperjuangkan Islamisasi ilmu pengetahuan—yakni integrasi prinsip Islam ke semua bidang ilmu untuk menyelaraskan pengetahuan modern dengan pandangan dunia tauhid—perlahan memudar dari sorotan. Gagasannya semakin tertutupi oleh sikap apologetik terhadap liberalisme.
Dalam upaya meraih kembali posisi global, kita seolah mengganti reformasi bermakna dengan kemajuan yang dangkal.
Di akademisi Barat, diskusi dekolonisasi dimulai dengan paradoks pendirian Jean-Jacques Rousseau, lalu berkembang ke gagasan seperti teori spontanitas Frantz Fanon, konsep demokrasi terpimpin Sukarno, dan paradoks kolonisasi Ali Shariati. Dengan seruan Ismail al-Faruqi untuk Islamisasi ilmu, Muslim menyadari bahwa penentuan nasib sendiri yang sejati harus melibatkan kebangkitan epistemologi Muslim. Ini sejalan dengan argumen sarjana Peru Anibal Quijano bahwa dekolonisasi memerlukan tantangan kritis terhadap kendali Erosentris atas pengetahuan.
Dominasi Erosentris dan Barat atas pengetahuan global, terutama di bidang yang mereka tak punya legitimasi untuk memimpin, terlihat jelas dalam banyak contoh. Kurator yang mengawasi koleksi besar naskah Muslim sering mengklaim otoritas untuk menarasikan sejarah sesuai interpretasi mereka, yang kerap berbeda dari perspektif penulis asli dan komentator tradisional.
Sebagai pendiri dan direktur Darul Qasim, sebuah seminari Islam untuk studi lanjutan ilmu-ilmu klasik, saya menyaksikan ini di Illinois, AS, saat pameran naskah langka Al-Qur’an. Seorang wanita non-Muslim ditunjuk untuk “menceritakan kisah” teks-teks tersebut. Ketika seorang santri Darul Qasim mengoreksi ketidakakuratan dalam penjelasannya, jawabannya hanya: “Saya yang berwenang di sini.”
Contoh lain melibatkan seorang sarjana Darul Qasim yang mengirim naskah tentang tata bahasa Arab klasik ke penerbit Barat terkemuka, yang menolaknya dengan alasan: “Kami tidak bisa menerima karya ini karena Anda tidak mengutip sumber Barat.” Insiden semacam ini menunjukkan bagaimana pengawasan akademik Barat terus memperkuat kendali Erosentris atas pengetahuan.
Ismail al-Faruqi berusaha membebaskan pengetahuan Muslim dari dominasi Barat. Visinya adalah “mengislamkan” ilmu dengan membersihkan sains dari konsep yang bertentangan dengan Islam. Teorinya didasarkan pada pendekatan tauhid yang menyatukan semua ilmu dengan pandangan dunia Ummat. Konsep ini berkembang dan dipromosikan oleh International Institute of Islamic Thought, lembaga penelitian yang didirikan untuk memajukan Islamisasi ilmu dan memasukkannya ke dalam wacana akademik. Meski seruan al-Faruqi untuk mengevaluasi sistem pengetahuan kita adalah langkah tepat, itu belum sepenuhnya mencapai tujuan akhir dekolonisasi menyeluruh.
Yang dibutuhkan adalah teori yang melampaui Islamisasi ilmu. Saya mengusulkan untuk menggali lebih dalam apa yang disebut sarjana sebagai kolonialitas pengetahuan—dominasi Erosentris yang terus membentuk pemikiran global—dan mengembangkan teori desekularisasi ilmu. Ini memerlukan penyelarasan pengetahuan pada tingkat epistemologinya, bukan sekadar politik atau ekonomi. Cendekiawan Muslim harus menyusun teori epistemologi kita yang koheren dan efektif.
Singkatnya, epistemologi Islam mengakui tiga sumber pengetahuan utama: yang diperoleh lewat panca indera, yang berasal dari akal manusia, dan yang disampaikan melalui laporan otentik seperti wahyu kepada Nabi. Ketiganya mencakup semua sumber pengetahuan manusia, dengan intuisi dan mimpi juga dipahami sebagai produk akal.
Secara historis, Muslim memainkan peran utama dalam menguasai dan menyebarkan sumber-sumber pengetahuan ini. Dalam Islam, ilmu tak pernah terpisah dari Allah, sumber segala pengetahuan. Berbeda dengan tradisi intelektual Barat yang memisahkan ilmu dari Tuhan demi modernitas dan kemakmuran, Islam menegaskan bahwa kreativitas sejati mengalir dari Allah, dan penemuan serta inovasi muncul dari penghormatan atas ilmu-Nya.
Sayangnya, kini ada ketegangan mendalam di dunia Muslim tentang bagaimana membedakan ilmu Islam dan sekuler. Banyak yang percaya Muslim harus mengalami renaisans ala Barat untuk meraih kejayaan masa lalu, tanpa memedulikan akhirat (akhirah). Padahal, Muslim percaya pada akhirah, dan ini menciptakan dikotomi palsu yang muncul dari kesalahpahaman prinsip Islam, seolah Muslim harus bersaing dengan Barat sambil menjunjung aturan keselamatan. Konflik yang dirasakan ini memaksa pemisahan artifisial antara yang dianggap Islami dan sekuler.
Saya yakin dikotomi ini keliru, dan siapa pun yang paham fikih akan menyadarinya. Hukum Islam mengatur bagaimana Muslim bertindak, bereaksi, dan berinteraksi dengan dunia fana yang berpengaruh langsung pada akhirat mereka. Tindakan manusia di dunia ini berakibat di akhirat. Meski ini bukan risalah fikih, pengamatan ini seharusnya menjawab keraguan skeptis. Muslim dermawan bukan hanya untuk membantu sesama, tapi karena mereka yakin amal itu mendatangkan pahala besar di akhirah. Jadi, sedekah bukan sekadar nilai kemanusiaan, tapi nilai religius yang mendalam. Kepercayaan pada akhirah mendesekularisasi bahkan tindakan kebaikan paling sederhana, menegaskan bagaimana pemikiran Islam menyatukan material dan spiritual.
Saya usulkan bahwa epistemologi Islam memandang semua ilmu bukan sebagai sekuler atau sakral, tapi sebagai bermanfaat (nafi’) atau lebih bermanfaat (anfa’). Ilmu apa pun yang berguna bagi individu, manusia atau bukan, di dunia ini dianggap nafi’. Al-Qur’an sendiri memberi contoh: Allah mengajari Nuh membuat bahtera dari papan kayu yang tahan badai besar, dan mengajari Dawud membuat baju besi dari besi. Dalam kedua kasus, ilmu itu disebut berasal langsung dari Allah, sehingga tak bisa dianggap sekuler. Membangun jembatan, jalan raya, rumah sakit, dan sekolah juga termasuk ilmu nafi’, karena bermanfaat bagi kesejahteraan manusia di dunia.
Ilmu yang bermanfaat bagi manusia di akhirah adalah anfa’, atau lebih bermanfaat. Ini mencakup ilmu membaca Al-Qur’an, memahami ibadah ritual, dan cara menyembah Allah. Mendirikan madrasah, masjid, dan lembaga zakat, misalnya, termasuk ilmu anfa’.
Muslim tak perlu menciptakan dikotomi palsu dalam ilmu, karena tauhid, keesaan Allah, juga mencakup kesatuan ilmu. Dengan pemahaman ini, tak perlu mendesekularisasi ilmu; kita harus memanfaatkannya sesuai kegunaannya di dunia dan akhirat. Kuncinya adalah mengakui keberadaan alam akhirat. Di era yang bahkan mempercayai alam semesta paralel, kehidupan setelah mati tak semustahil yang diyakini kaum sekuler.
Pandangan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak merefleksikan sikap editorial Al Jazeera.