Sebuah undang-undang baru di Prancis yang mengizinkan kembalinya pestisida terlarang telah memicu petisi penolakan dengan jumlah tanda tangan terbanyak, mencapai lebih dari 500.000 pada Sabtu lalu.
UU yang dijuluki “hukum Duplomb” ini memicu kemarahan publik karena memperbolehkan penggunaan kembali asetamiprid—bahan kimia beracun bagi penyerbuk seperti lebah dan ekosistem. UU ini disahkan pada 8 Juli tapi belum berlaku efektif.
Aturan ini, dinamai sesuai nama anggota parlemen konservatif yang mengusulkanya, diajukan sebagai upaya “mengurangi beban” bagi petani Prancis.
Namun, keputusan menghidupkan kembali asetamiprid mendorong Eleonore Pattery, mahasiswa S2 berusia 23 tahun, meluncurkan petisi yang cepat viral dan didukung banyak pihak, termasuk aktor dan sejumlah politisi sayap kiri.
Situs resmi parlemen Prancis mencatat petisi ini mengumpulkan tanda tangan lebih banyak dibanding petisi lain. Pada pukul 18.00 (16.00 GMT) Sabtu, angkanya telah melampaui 550.000.
Pattery, yang menyebut dirinya “calon profesional kesehatan lingkungan”, menyatakan UU ini sebagai “penyimpangan ilmiah, etis, lingkungan, dan kesehatan publik”.
“Ini adalah serangan frontal terhadap kesehatan publik, biodiversitas, konsistensi kebijakan iklim, keamanan pangan, dan akal sehat,” ujarnya.
Asetamiprid telah dilarang di Prancis sejak 2018, tapi masih legal di Uni Eropa.
Petisi ini menuntut “pencabutan segera” UU tersebut serta “konsultasi warga yang melibatkan pemangku kepentingan di bidang kesehatan, pertanian, lingkungan, dan hukum.”
Meski petisi tidak secara otomatis membatalkan UU, dukungan publik yang luar biasa bisa memicu diskusi ulang di parlemen.
Menurut aturan Prancis, jika petisi mencapai 500.000 tanda tangan terverifikasi, Majelis Nasional dapat menggelar debat publik terbatas terkait isi petisi.
Akhir Juni lalu, sebelum UU disahkan, ribuan demonstran—termasuk petani, LSM lingkungan, dan ilmuwan—berunjuk rasa di seluruh Prancis menuntut pencabutan RUU ini.
are/djt/rmb/jj