Kelaparan Membunuh Keponakan-Ku dan Aku Tak Bisa Berbuat Apa Pun untuk Menyelamatkan Mereka | Konflik Israel-Palestina

Aku punya keluarga besar Palestina. Aku tumbuh di rumah yang penuh anak-anak: Kami delapan bersaudara. Saat kakak-kakakku mulai menikah dan punya anak, keluarga kami semakin besar. Setiap akhir pekan, rumah keluarga kami dipenuhi tawa anak-anak.

Dulu aku tak sabar menunggu Kamis tiba, hari ketika kakak perempuanku yang sudah menikah datang berkunjung dengan anak-anaknya. Ayahku biasanya pergi belanja, ibuku sibuk memasak hidangan favorit anak-anaknya, sementara aku bermain dengan keponakanku. Total ada sembilan keponakan, dan aku punya kenangan indah bermain dan memeluk mereka satu per satu. Mereka adalah harta keluarga kami karena rumah tanpa anak seperti pohon tanpa daun.

Meski hidup di tengah penjajahan dan blokade Gaza yang sulit, kakak-kakakku berusaha keras memenuhi kebutuhan anak-anak mereka dan memberi kesempatan terbaik untuk belajar dan mengejar mimpi.

Lalu genosida dimulai. Pemboman tanpa henti, pengungsian terus-menerus, kelaparan.

Aku tak punya anak sendiri, tapi aku merasakan sakit yang luar biasa di hati kakak-kakakku saat mendengar tangisan anak-anak mereka yang kelaparan.

“Aku sudah tak kuat lagi. Lelah memikirkan bagaimana mengisi perut kosong anak-anakku. Apa yang bisa ku siapkan untuk mereka?” kata Samah, kakakku, baru-baru ini.

Dia punya tujuh anak: Abdulaziz (20), Sondos (17), Raghad (15), Ali (11), kembar Mahmoud dan Lana (8), dan Tasneem (3). Seperti kebanyakan keluarga Palestina, mereka terusir berkali-kali hingga kehilangan hampir semua harta. Terakhir kali melihat rumah mereka di Shujayea, temboknya hancur, tapi atapnya masih bertumpu pada pilar. Tanah di depan rumah yang dulunya ditanami zaitun dan lemon sudah dirobohkan buldozer.

Sejak perang dimulai, keluarga Samah bergantung pada makanan kaleng. Setelah Israel memblokir bantuan awal Maret dan distribusi berhenti, mereka kesulitan menemukan kacang atau buncis kaleng. Sekarang, mereka beruntung jika dapat semangkuk sup lentil atau sepotong roti.

MEMBACA  Produk Musim Dingin Favorit Saya Lagi Diskon! Hangatkan Tangan dengan Electric Hand Warmer imut seharga $17. Cocok untuk hadiah atau isi kado!

Hari demi hari, Samah terpaksa melihat anak-anaknya menderita, kurus, dan sakit-sakitan.

Lana yang paling parah. Tingginya 110 cm, tapi beratnya hanya 13 kg. Orang tuanya membawanya ke klinik dan didiagnosa malnutrisi parah. Dia didaftarkan dalam program suplemen gizi, tapi belum dapat apa-apa karena stok kosong.

Tubuh kuning Lana begitu lemah sampai dia tak bisa lama berdiri atau lari jika harus mengungsi mendadak. Yang dia mau hanya tidur dan duduk, tak bisa bermain dengan saudaranya. Aku tak percaya melihat keadaannya sekarang: dulu dia anak pipi merah penuh energi yang selalu main dengan saudaranya.

Kami sering dengar kabar anak-anak meninggal karena malnutrisi, dan ini ketakutan terbesar Samah: kehilangan putrinya.

Meski kesulitan memberi makan keluarga, Samah melarang suaminya, Mohammed, pergi ke titik distribusi bantuan Gaza Humanitarian Foundation. Dia tahu itu jebakan maut. Tak mau suaminya mempertaruhkan nyawa hanya demi paket makanan yang mungkin tak didapat.

Di tengah kelaparan, kakakku Asma melahirkan anak kedua, Wateen. Sekarang usianya dua bulan, dan karena kurang gizi, dia terkena kuning. Aku hanya lihat Wateen lewat foto. Saat lahir, beratnya 2,5 kg. Di semua fotonya, dia terlihat kuning dan mengantuk.

Dokter bilang ibunya yang menyusui tak bisa memberi nutrisi cukup karena dia sendiri kekurangan gizi. Wateen butuh susu formula tinggi kalori, tapi tak tersedia karena Israel memblokir semua pengiriman susu bayi ke Gaza.

Asma kini khawatir Wateen akan mengalami malnutrisi karena dia tak bisa memberinya ASI bergizi. “Aku meleleh seperti lilin! Kapan penderitaan ini berakhir?” katanya padaku baru-baru ini.

Hatiku hancur setiap berbicara dengan kakak-kakakku dan mendengar penderitaan mereka serta kelaparan yang menghancurkan anak-anak mereka.

MEMBACA  Judul: Seorang Penjaga Perdamaian PBB Tewas dalam Serangan oleh Kumpulan Bersenjata di Republik Afrika Tengah (Format yang lebih baik dan lebih enak dibaca)

Pasukan pendudukan Israel sudah membunuh lebih dari 18.000 anak sejak genosida dimulai. Sekitar 1,1 juta masih bertahan. Israel ingin memastikan mereka tak punya masa depan.

Ini bukan konsekuensi perang yang tak disengaja, tapi strategi perang.

Malnutrisi bukan sekadar penurunan berat badan. Ini kondisi yang merusak organ vital seperti hati, ginjal, dan lambung. Menghambat pertumbuhan anak, meningkatkan risiko penyakit, kesulitan belajar, gangguan kognitif, dan masalah psikologis.

Dengan membiarkan anak-anak Palestina kelaparan, menghalangi pendidikan dan layanan kesehatan, penjajah ingin menciptakan generasi lemah, mudah sakit, tak mampu berpikir, dan hanya fokus pada mencari makan, minum, serta tempat tinggal. Generasi yang tak bisa mempertahankan tanah air atau melawan penjajah. Generasi yang tak paham perjuangan bangsanya.

Rencana perang ini jelas, dan tujuannya sudah diungkap pejabat Israel. Pertanyaannya sekarang: apakah dunia akan membiarkan Israel menghancurkan anak-anak Gaza?

Pandangan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial Al Jazeera.

*(Note: The text contains one typo: “Samah” vs “Samah” in one instance, and a minor inconsistency in “Asma” vs “Asmaa”.)*